Jumat, 16 Agustus 2013

Makalah tentang Inflasi

Diposting oleh Riska Yuliatiningsih di 14.19.00


Makalah Perekonomian Indonesia
Tentang
Inflasi yang Terjadi di Indonesia






 


Disusun oleh:
Riska Yuliatiningsih
2012220020
Akuntansi Sore ( K )



FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS MADURA
TAHUN AKADEMIK 2012 – 2013

KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan limpahan rahmat-Nya-lah maka kami bisa menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
Berikut ini kami mempersembahkan sebuah makalah dengan judul "Inflasi yang Terjadi di Indonesia ", yang menurut penulis dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita guna untuk mengetahui perkembangan inflasi yang terjadi di Indonesia selama beberapa tahun ini.
Melalui kata pengantar ini penulis terlebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang kami buat kurang tepat
Dengan ini kami mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.

Pamekasan, 14 Juli 2013



Penulis



DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................... ii
DAFTAR ISI..................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................ 1
A.  Latar Belakang............................................................................................... 1
B.  Rumusan Masalah.......................................................................................... 1
C.  Tujuan............................................................................................................. 1
BAB II LANDASAN TEORI.......................................................................... 3
A.  Pengertian Inflasi........................................................................................... 3
B.  Penyebab Inflasi............................................................................................. 3
C.  Jenis – jenis Inflasi......................................................................................... 7
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................. 11
A.  Inflasi yang terjadi di Indonesia.................................................................... 11
B.  Penyebab Timbulnya Inflasi di Indonesia...................................................... 15
C.  Pengendalian Inflasi di Indonesia.................................................................. 20
BAB III PENUTUP.......................................................................................... 25
A.  Kesimpulan..................................................................................................... 25  
B.  Saran............................................................................................................... 25
DAFTAR ISI..................................................................................................... 27




BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Inflasi dapat diartikan sebagai kenaikan harga secara umum dan terus menerus atau penurunan nilai mata uang. Indonesia merupakan salah satu Negara berkembang yang pernah terkena dampak Krisis Ekonomi Global. Pada tahun 1998 Indonesia benar – benar merasakan dahsyatnya goncangan krisis financial yang merembet pada kepercayaan. Setelah itu Ekonomi Indonesia mulai bergerak dan bangkit kembali, namun pada tahun 2004 perlahan kondisi Ekonomi Indonesia mulai merasakan tekanan kembali  yang merupakan imbas dari kenaikan harga minyak dunia dengan diumumkannya kenaikan harga BBM oleh Menteri Koordinator Abu Rizal Bakri pada tanggal 1 Maret 2004. Dan baru – baru ini kenaikan BBM kembali terjadi tepatnya pada tanggal 21 Juni 2013 lalu.
Semenjak peristiwa kenaikan BBM tersebut, Indonesia benar – benar mengalami inflasi. bukan hanya harga BBM yang melambung namun harga barang – barang pokok pun ikut melambung. Hal ini cukup membuat beban masyarakat Indonesia semakin berat. Walaupun dengan adanya BLSM, Masyarakat tidak dapat sepenuhnya memenuhi kebutuhan pokoknya. Selain itu turunnya nilai mata uang rupiah juga dirasakan oleh semua orang, Khususnya masyarakat golongan menengah ke bawah.
Dalam pembahasan kali ini, penulis akan membahas bahasan pokok masalah “inflasi” utamanya yang terjadi di Indonesia.
B.       Rumusan Masalah
Berkaitan dengan latar belakang masalah tersebut diatas maka masalah yang dapat di rumuskan yaitu :
-          Seperti apa inflasi yang terjadi di Indonesia?
-          Apa yang menyebabkan inflasi di Indonesia?
-          Bagaimana pengendalian yang dilakukan oleh Pemerintah menyangkut inflasi yang terjadi di Indonesia?


C.      Tujuan
Tujuan penyusunan makalah ini yaitu untuk memaparkan hasil tinjauan penulis tentang terjadinya inflasi di Indonesia.




BAB II
LANDASAN TEORI
A.      Pengertian Inflasi
Menurut ilmu Ekonomi, inflasi merupakan suatu proses meningkatnya harga barang yang bersifat secara umum dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama atau terus – menerus ( continue ). Inflasi juga memiliki definisi sebagai suatu proses menurunnya nilai mata uang suatu Negara secara continue, dalam definisi ini inflasi bukan hanya tinggi - rendahnya harga, artinya tingkat harga yang tinggi belum tentu menunjukkan inflasi. Sedangkan menurut salah satu para ahli yaitu Ekonom Parkin dan Bade menyimpulkan inflasi merupakan pergerakan ke arah atas dari tingkatan harga. Secara mendasar ini berhubungan dengan harga, hal ini bisa juga disebut dengan berapa banyaknya uang (rupiah) untuk memperoleh barang tersebut.
B.       Penyebab Inflasi
Inflasi selalu dihubungkan dengan jumlah uang yang beredar. Ada beberapa teori yang menjelaskan tentang penyebab terjadinya inflasi yaitu :
a.         Teori Kuantitas
Teori ini adalah teori yang tertua yang membahas tentang inflasi, tetapi dalam perkembangannya teori ini mengalami penyempurnaan oleh para ahli ekonomi Universitas Chicago, sehingga teori ini juga dikenal sebagai model kaum moneteris (monetarist models). Teori ini menekankan pada peranan jumlah uang beredar dan harapan (ekspektasi) masyarakat mengenai kenaikan harga terhadap timbulnya inflasi. Inti dari teori ini adalah sebagai berikut :
-            Inflasi hanya bisa terjadi kalau ada penambahan volume uang beredar, baik uang kartal maupun giral.
-            Laju inflasi juga ditentukan oleh laju pertambahan jumlah uang beredar  dan oleh harapan (ekspektasi) masyarakat mengenai kenaikan harga di masa mendatang.


b.        Keynesian Model
Dasar pemikiran model inflasi dari Keynes ini, bahwa inflasi terjadi karena masyarakat ingin hidup di luar batas kemampuan ekonomisnya, sehingga menyebabkan permintaan efektif masyarakat terhadap barang-barang (permintaan agregat) melebihi jumlah barang-barang yang tersedia (penawaran agregat), akibatnya akan terjadi inflationary gap. Keterbatasan jumlah persediaan barang (penawaran agregat) ini terjadi karena dalam jangka pendek kapasitas produksi tidak dapat dikembangkan untuk mengimbangi kenaikan permintaan agregat. Oleh karenanya sama seperti pandangan kaum monetarist, Keynesian models ini lebih banyak dipakai untuk menerangkan fenomena inflasi dalam jangka pendek. Dengan keadaan daya beli antara golongan yang ada di masyarakat tidak sama (heretogen), maka selanjutnya akan terjadi realokasi barang-barang yang tersedia dari golongan masyarakat yang memiliki daya beli yang relatif rendah kepada golongan masyarakat yang memiliki daya beli yang lebih besar. Kejadian ini akan terus terjadi di masyarakat. Sehingga, laju inflasi akan berhenti hanya apabila salah satu golongan masyarakat tidak bisa lagi memperoleh dana (tidak lagi memiliki daya beli) untuk membiayai pembelian barang pada tingkat harga yang berlaku, sehingga permintaan efektif masyarakat secara keseluruhan tidak lagi melebihi supply barang (inflationary gap menghilang).
c.         Mark-up Model
Pada teori ini dasar pemikiran model inflasi ditentukan oleh dua komponen, yaitu cost of production dan profit margin. Relasi antara perubahan kedua komponen ini dengan perubahan harga dapat dirumuskan sebagai berikut :
Price = Cost + Profit Margin
Karena besarnya profit margin ini biasanya telah ditentukan sebagai suatu prosentase tertentu dari jumlah cost of production, maka rumus tersebut dapat dijabarkan menjadi :
Price = Cost + ( a% x Cost )
Dengan demikian, apabila terjadi kenaikan harga pada komponen-komponen yang menyusun cost of production dan atau penaikan pada profit margin akan menyebabkan terjadinya kenaikan pada harga jual komoditi di pasar.
d.        Teori Struktural
Banyak study mengenai inflasi di negara-negara berkembang, menunjukan bahwa inflasi bukan semata-mata merupakan fenomena moneter, tetapi juga merupakan fenomena struktural atau cost push inflation. Hal ini disebabkan karena struktur ekonomi negara-negara berkembang pada umumnya yang masih bercorak agraris. Sehingga, goncangan ekonomi yang bersumber dari dalam negeri, misalnya gagal panen (akibat faktor eksternal pergantian musim yang terlalu cepat, bencana alam, dan sebagainya), atau hal-hal yang memiliki kaitan dengan hubungan luar negeri, misalnya memburuknya term of trade; utang luar negeri; dan kurs valuta asing, dapat menimbulkan fluktuasi harga di pasar domestik.
Fenomena struktural yang disebabkan oleh kesenjangan atau kendala struktural dalam perekonomian di negara berkembang, sering disebut dengan structural bottlenecks. Strucktural bottleneck terutama terjadi dalam tiga hal, yaitu :
-            Supply dari sektor pertanian (pangan) tidak elastis.
Hal ini dikarenakan pengelolaan dan pengerjaan sektor pertanian yang masih menggunakan metode dan teknologi yang sederhana, sehingga seringkali terjadi supply dari sector pertanian domestik tidak mampu mengimbangi pertumbuhan permintaannya.
-            Cadangan valuta asing yang terbatas (kecil) akibat dari pendapatan ekspor yang lebih kecil daripada pembiayaan impor.
Keterbatasan cadangan valuta asing ini menyebabkan kemampuan untuk mengimpor barangbarang baik bahan baku; input antara; maupun barang modal yang sangat dibutuhkan untuk pembangunan sektor industri menjadi terbatas pula. Belum lagi ditambah dengan adanya demonstration effect yang dapat menyebabkan perubahan pola konsumsi masyarakat. Akibat dari lambatnya laju pembangunan sektor industri, seringkali menyebabkan laju pertumbuhan supply barang tidak dapat mengimbangi laju pertumbuhan permintaan.
-            Pengeluaran pemerintah terbatas.
Hal ini disebabkan oleh sektor penerimaan rutin yang terbatas, yang tidak cukup untuk membiayai pembangunan, akibatnya timbul defisit anggaran belanja, sehingga seringkali menyebabkan dibutuhkannya pinjaman dari luar negeri ataupun mungkin pada umumnya dibiayai dengan pencetakan uang (printing of money).
Dengan adanya structural bottlenecks ini, dapat memperparah inflasi di Negara berkembang dalam jangka panjang, oleh karenanya fenomena inflasi di negaranegara yang sedang berkembang kadangkala menjadi suatu fenomena jangka panjang, yang tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang pendek.
Berbeda dengan kaum monetaris yang memandang inflasi sebagai fenomena moneter, yang disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam sektor moneter akibat dari ekspansi jumlah uang beredar, kaum neo-structuralist menekankan pada struktur sektor keuangan. Dasar pemikiran kaum neo-structuralist ini adalah pengaruh uang terhadap perekonomian terutama ditransmisikan dari supply side atau roduksi. Menurut pemikiran kaum neo-structuralist, uang merupakan salah satu factor penentu investasi dan produksi. Bila jumlah uang yang tersedia untuk investasi melimpah, menyebabkan harga uang (suku bunga) akan murah, maka volume investasi akan meningkat. Dengan meningkatnya volume investasi, volume produksi juga akan meningkat. Sehingga, penawaran barang meningkat, yang pada gilirannya akan menekan tingkat inflasi. Dengan dasar pemikiran yang seperti ini, timbul pendapat bahwa deregulasi di sektor finansial dan peningkatan jumlah uang beredar akan mendorong laju pertumbuhan ekonomi seraya menekan inflasi.
Kaum strukturalis berpendapat, bahwa selain harga komoditi pangan, penyebab utama terjadinya inflasi di negara-negara berkembang adalah akibat inflasi dari luar negeri (imported inflation). Hal ini disebabkan antara lain oleh harga barangbarang impor yang meningkat di daerah asalnya, atau terjadinya devaluasi atau depresiasi mata uang di negara pengimpor. Menurut kesimpulan dari penelitian M.N. Dalal dan G. Schachter (1988), bila kontribusi impor terhadap pembentukan output domestik sangat besar, yang artinya sifat barang impor tersebut sangat penting terhadap price behaviour di negara importir, maka kenaikan harga barang impor akan menyebabkan tekanan inflasi di dalam negeri yang cukup besar. Selain itu, semakin rendah derajat kompetisi yang dimiliki oleh barang impor (price inelastic) terhadap produk dalam negeri, akan semakin besar pula dampak perubahan harga barang impor tersebut terhadap inflasi domestik.
C.      Jenis – Jenis Inflasi
Inflasi dapat dibedakan menjadi beberapa jenis dalam pengelompokan tertentu, antara lain :
a.       Berdasarkan asalnya
inflasi digolongkan menjadi dua yaitu :
-          Inflasi yang berasal dari dalam Negeri ( Domestic Inflation ). yaitu inflasi yang sepenuhnya disebabkan oleh kesalahan pengelolaan perekonomian baik di sektor riil ataupun di sektor moneter di dalam negeri oleh para pelaku ekonomi dan masyarakat.
-          Inflasi yang berasal dari luar negeri ( Imported Inflation ), yaitu inflasi yang disebabkan oleh adanya kenaikan harga-harga komoditi di luar negeri (di negara asing yang memiliki hubungan perdagangan dengan negara yang bersangkutan). Inflasi ini hanya dapat terjadi pada negara yang menganut sistem perekonomian terbuka (open economy system). Dan, inflasi ini dapat ‘menular’ baik melalui harga barang-barang impor maupun harga barang-barang ekspor.
Terlepas dari pengelompokan-pengelompokan tersebut, pada kenyataannya inflasi yang terjadi di suatu negara sangat jarang (jika tidak boleh dikatakan tidak ada) yang disebabkan oleh satu macam / jenis inflasi, tetapi acapkali karena kombinasi dari beberapa jenis inflasi. Hal ini dikarenakan tidak ada faktor-faktor ekonomi maupun pelaku-pelaku ekonomi yang benar-benar memiliki hubungan yang independen dalam suatu sistem perekonomian negara. Contoh : imported inflation seringkali diikuti oleh cost push inflation, domestic inflation diikuti dengan demand pull inflation, dan sebagainya.
b.      berdasarkan keparahannya
Inflasi apabila digolongkan berdasarkan tingkat keparahannya dibedakan menjadi 4, yaitu :
-          Inflasi Ringan atau inflasi merangkak (creeping inflation), yaitu inflasi yang lajunya kurang dari 10% per tahun, inflasi seperti ini wajar terjadi pada negara berkembang yang selalu berada dalam proses pembangunan.
-          Inflasi Sedang, Inflasi ini memiliki ciri yaitu lajunya berkisar antara 10% sampai 30% per tahun.Tingkat sedang ini sudah mulai membahayakan kegiatan ekonomi.Perlu diingat laju inflasi ini secara nyata dapat dilihat garak kenaikan harga.Pendapatan riil masyarakat terutama masyarakat yang berpenghasilan tetap seperti buruh ,mulai turun dan kenaikan upah selalu lebih kecil bila dibandingkan dengan kenaikan harga.
-          Inflasi Berat, yaitu inflasi yang lajunya antara 30% sampai 100%.Kenaikan harga sudah sulit dikendalikan.Hal ini diperburuk lagi oleh pelaku-palaku ekonomi yang memanfaatkan keadaan untuk melakukan spekulasi.
-          Inflasi Liar (hyperinflation ), yaitu inflasi yang lajunya sudah melebihi dari 100% per tahun. Inflasi ini terjadi bila setiap saat harga-harga terus berubah dan meningkat sehingga orang tidak dapat menahan uang lebih lama disebabkan nilai uang terus merosot disebut inflasi yang tidak terkendali (Hyperinflastion).


c.       Berdasarkan Penyebabnya
Penggolongan inflasi selanjutnya dapat dibedakan menurut penyebabnya yaitu itu tarikan permintaan dan tarikan desakan ( tekanan ) biaya / produksi / distribusi. Secara singkat sebab yang pertama ( tarikan permintaan ) lebih cenderung dipengaruhi dari peran Negara dalam kebijakan moneter ( Bank Sentral ), sedangkan sebab yang kedua lebih cenderung dipengaruhi dari peran Negara dalam kebijakan eksekutor yang dalam hal ini dipegang oleh Pemerintah misalnya Fiskal, kebijakan pembangunan infrastruktur, regulasi, dan lainnya.
a)         Tarikan permintaan
Hal ini terjadi akibat adanya permintaan total yang berlebihan dimana biasanya dipicu oleh membanjirnya likuiditas di pasar sehingga terjadi permintaan yang tinggi dan memicu perubahan pada tingkat harga. Bertambahnya volume alat tukar atau likuiditas yang terkait dengan permintaan terhadap barang dan jasa mengakibatkan bertambahnya permintaan terhadap faktor-faktor produksi tersebut. Meningkatnya permintaan terhadap faktor produksi itu kemudian menyebabkan harga faktor produksi meningkat.
Jadi, inflasi ini terjadi karena suatu kenaikan dalam permintaan total sewaktu perekonomian yang bersangkutan dalam situasi full employment dimanana biasanya lebih disebabkan oleh rangsangan volume likuiditas dipasar yang berlebihan. Membanjirnya likuiditas di pasar juga disebabkan oleh banyak faktor selain yang utama tentunya kemampuan bank sentral dalam mengatur peredaran jumlah uang, kebijakan suku bunga bank sentral, sampai dengan aksi spekulasi yang terjadi di sektor industri keuangan.
secara singkat tarikan permintaan ini terjadi akibat adanya kenaikan pemintaan Agregat yang terlalu besar atau pesat dibandingkan dengan penawaran atau produksi Agregat.
b)        desakan biaya
hal terjadi akibat adanya kelangkaan produksi dan/atau juga termasuk adanya kelangkaan distribusi, meskipun permintaan secara umum tidak ada perubahan yang meningkat secara signifikan. Adanya ketidak-lancaran aliran distribusi ini atau berkurangnya produksi yang tersedia dari rata-rata permintaan normal dapat memicu kenaikan harga sesuai dengan berlakunya hukum permintaan-penawaran, atau juga karena terbentuknya posisi nilai keekonomian yang baru terhadap produk tersebut akibat pola atau skala distribusi yang baru. Berkurangnya produksi sendiri bisa terjadi akibat berbagai hal seperti adanya masalah teknis di sumber produksi (pabrik, perkebunan, dll), bencana alam, cuaca, atau kelangkaan bahan baku untuk menghasilkan produksi tsb, aksi spekulasi (penimbunan), dll, sehingga memicu kelangkaan produksi yang terkait tersebut di pasaran. Begitu juga hal yang sama dapat terjadi pada distribusi, dimana dalam hal ini faktor infrastruktur memainkan peranan yang sangat penting.
d.      Berdasarkan cakupan pengaruh terhadap harga
Inflasi juga dapat dibagi berdasarkan besarnya cakupan pengaruh terhadap harga. Jika kenaikan harga yang terjadi hanya berkaitan dengan satu atau dua barang tertentu, inflasi itu disebut inflasi tertutup (Closed Inflation). Namun, apabila kenaikan harga terjadi pada semua barang secara umum, maka inflasi itu disebut sebagai inflasi terbuka (Open Inflation). Sedangkan apabila serangan inflasi demikian hebatnya sehingga setiap saat harga-harga terus berubah dan meningkat sehingga orang tidak dapat menahan uang lebih lama disebabkan nilai uang terus merosot disebut inflasi yang tidak terkendali (Hiperinflasi).




BAB III
PEMBAHASAN
A.      Inflasi yang Terjadi di Indonesia
Seperti halnya yang terjadi pada negara-negara berkembang pada umumnya, fenomena inflasi di Indonesia masih menjadi satu dari berbagai “penyakit” ekonomi makro yang meresahkan pemerintah terlebih bagi masyarakat. Memang, menjelang akhir pemerintahan Orde Baru (sebelum krisis moneter) angka inflasi tahunan dapat ditekan sampai pada single digit, tetapi secara umum masih mengandung kerawanan jika dilihat dari seberapa besar prosentase kelompok masyarakat golongan miskin yang menderita akibat inflasi. Lebih-lebih setelah semakin berlanjutnya krisis moneter yang kemudian diikuti oleh krisis ekonomi, yang menjadi salah satu dari penyebab jatuhnya pemerintahan Orde Baru, angka inflasi cenderung meningkat pesat (mencapai lebih dari 75 % pada tahun 1998), dan diperparah dengan semakin besarnya presentase golongan masyarakat miskin. Sehingga bisa dikatakan, bahwa meskipun angka inflasi di Indonesia termasuk dalam katagori tinggi, tetapi dengan meninjau presentase golongan masyarakat ekonomi bawah yang menderita akibat inflasi cukup besar, maka sebenarnya dapat dikatakan bahwa inflasi di Indonesia telah masuk dalam stadium awal dari hyperinflation.
contoh peristiwa Inflasi
a.       Pasca Kenaikan Harga BBM subsidi
Baru – baru ini Pemerintah Indonesia menaikkan harga BBM pada tanggal 21 Juni lalu. hal ini membuktikan bahwa bangsa kita benar – benar mengalami masalah naiknya harga BBM. Hal ini terjadi dikarenakan permintaan masyarakat akan konsumsi BBM melambung tinggi sementara stock atau persediaan BBM semakin menipis. Berbagai upaya telah pemerintah lakukan untuk mengatasi krisis BBM ini, awalnya pemerintah melakukan pembatasan pengguna BBM subsidi. pembatasan ini dilakukan pada BBM premium yang menjadi sasaran utama oleh Pemerintah kepada kendaraan dinas. namun usaha ini dapat dikategorikan gagal karena terbukti masih banyak kendaraan dinas yang menikmati BBM subsidi yaitu dengan cara membeli kepada pedagang eceran sehingga BBM non subsidi kurang laku di pasaran. menanggapi pemakaian BBM subsidi yang diukur masih tinggi, Pemerintah menaikkan harga BBM atau mngurangi jatah subsidi yang diberikan oleh Pemerintah. Kenaikan harga BBM memperberat beban hidup masyarakat terutama mereka yang berada di kalangan bawah dan juga para pengusaha, karena kenaikan BBM menyebabkan turunnya daya beli masyarakat dan itu akan mengakibatkan tidak terserapnya semua hasil produksi banyak perusahaan sehingga akan menurunkan tingkat penjualan yang pada akhirnya juga akan menurunkan laba perusahaan.
Naiknya harga BBM di indonesia diawali oleh naiknya harga minyak dunia. yang membuat pemerintah tidak dapat menjual BBM kepada masyarakat dengan harga yang sama dengan harga sebelumnya, karena hal itu dapat menyebabkan pengeluaran APBN untuk subsidi minyak menjadi lebih tinggi. Maka pemerintah mengambil langkah untuk menaikkan harga BBM.
Dan untuk mengimbangi masalah melonjaknya harga BBM setiap tahunnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan subsidi BBM. Kebijakan subsidi BBM (Bahan Bakar Minyak) bertujuan mengatasi kelebihan beban APBN. Sebab jika tidak, APBN dipastikan akan mengalami penurunan yang berdampak langsung pada mandeknya pembangunan nasional.
Kenaikan BBM ini menimbulkan berbagai dampak yaitu meningkatnya harga barang – barang baik barang pokok maupun jasa. meskipun Pemerintah telah mengadakan program baru sementara yang berupa BLSM kepada masyarakat miskin namun bantuan tersebut tidak dapat menutupi keseluruhan kekurangan – kekurangan dana untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari mereka. bahkan terbukti terkadang BLSM tersebut masih melenceng dari masyarakat miskin. banyak masyarakat miskin yang tidak menerima bantuan tersebut. selain itu daya beli kebutuhan sehari – hari masyarakat berkurang karena uang yang biasanya cukup untuk membeli seluruh kebutuhan – kebutuhan kini tidak cukup lagi untuk membeli semua kebutuhan dikarenakan harganya terpaut melambung tinggi. apabila kebutuhan – kebutuhan masyarakat kurang, maka dapat menyebabkan meningkatnya tindakan – tindakan criminal sehingga keamanan lingkungan pun akan menurun. kebijakan tersebut tidak hanya berimbas kepada kebutuhan pokok namun berimbas juga kepada laju pertumbuhan ekonomi. pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan melamban dan daya saing akan menurun.
Apabila pemerintah ingin menaikkan harga BBM harusnya tidak langsung melonjak seperti ini dikarenakan harga – harga barang pun ikut melambung tinggi. seharusnya Pemerintah menaikkan harga BBM cukup per tahun atau dua tahun sekali dinaikkan sebesar Rp500,- di tahun – tahun  sebelumnya, sehingga harga – harga barang kebutuhan pokok akan lebih terkendali.
b.      Krisis Moneter di Indonesia
Krisis moneter yang melanda negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, telah menyebabkan rusaknya sendi-sendi perekonomian nasional. Krisis moneter menyebabkan terjadinya imported inflation sebagai akibat dari terdepresiasinya secara tajam nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, yang selanjutnya mengakibatkan tekanan inflasi yang berat bagi Indonesia. Fenomena inflasi di Indonesia sebenarnya semata-mata bukan merupakan suatu fenomena jangka pendek saja dan yang terjadi secara situasional, tetapi seperti halnya yang umum terjadi pada negara-negara yang sedang berkembang lainnya, masalah inflasi di Indonesia lebih pada masalah inflasi jangka panjang karena masih terdapatnyahambatan- hambatan struktural dalam perekonomian negara. Dengan demikian, maka pembenahan masalah inflasi di Indonesia tidak cukup dilakukan dengan menggunakan instrumen-instrumen moneter saja. Devaluasi menjadi penyebab utama terjadinya krisis ekonomi di Asia dan akhirnya menimbulkan masalah inflasi di dalam negeri. Inflasi merupakan masalah ekonomi makro yang mempengaruhi perekonomiaan secara riil karena memberikan tekanan bagi investasi dan menghalangi pertumbuhan ekonomi. Penelitian World Bank (World Bank Institute Home Page, retrieve Februari 2000) mengenai inflasi dan pertumbuhan di 127 negara antara tahun 1960-1992 menunjukkan adanya hubungan yang erat antara tingkat inflasi dan penurunan pertumbuhan ekonomi. Pada penelitian tersebut ditemukan bahwa pada tingkat inflasi yang rendah-menengah (20-40%) tidak secara langsung menyebabkan penurunan pertumbuhan sedangkan tingkat inflasi diatas 40% merupakan inflasi yang sangat membahayakan. Berdasarkan fakta-fakta tersebut diatas inflasi merupakan masalah ekonomi makro yang perlu mendapat perhatian baik untuk mencari penyebab maupun solusi untuk mengatasinya. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa inflasi di Indonesia lebih didominasi oleh penyebab non ekonomis. Permasalahan penyebab ekonomis dan non ekonomis di Indonesia memang menimbulkan kontroversi yang cukup tinggi. Aspek-aspek non ekonomis terkadang memberikan pengaruh yang signifikan bagi perubahan-perubahan indikator ekonomi.
Dalam tulisan ini, faktor-faktor non ekonomis dieliminir dan diasumsikan tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada tingkat inflasi. Fenomena inflasi di Indonesia sendiri memunculkan banyak pendapat mengenai sumber inflasi dan aspek kausalitas. inflasi di Indonesia dipicu oleh Jumlah uang beredar yang terlampau besar dan di sisi lain terdapat kelompok yang mengatakan bahwa inflasi di Indonesia disebabkan karena ketergantungan Indonesia bagi barang impor. Sisi  kausalitas inflasi muncul karena inflasi itu tidak hanya merupakan akibat dari faktor ekonomi namun juga dapat menyebabkan perubahan faktor ekonomi yang lain.
c.       Turunnya Nilai Riil Kekayaan Masyarakat
Inflasi menyebabkan turunnya nilai riil kekayaan masyarakat yang berbentuk kas, karena nilai tukar kas tersebut akan menadi lebih kecil, karena secara nominal harus menghadapi harga komoditi per satuan yang lebih besar. Sebagai misal, jika uang Rp. 10.000,- tadinya bisa dibelikan 10kg beras yang berharga Rp.1000,-/kg, maka setelah adanya inflasi uang Rp.10.000,- tersebut hanya dapat ditukarkan dengan 5kg beras saja, karena sekarang harga beras menjadi lebih mahal (Rp.2000,-/kg). Sebaliknya mereka yang memiliki kekayaan dalam bentuk aktiva tetap (umumnya golongan ekonomi menengah ke atas) justru diuntungkan dengan kenaikan harga akibat inflasi tersebut. Dengan demikian inflasi akan membuat jurang kesenjang akan semakin lebar.
B.       Penyebab Timbulnya Inflasi di Indonesia
Apabila ditelaah lebih lanjut, terdapat beberapa faktor utama yang menjadi penyebab timbulnya inflasi di Indonesia, yaitu :
a.       Jumlah uang beredar
Menurut sudut pandang kaum moneteris jumlah uang beredar adalah factor utama yang dituding sebagai penyebab timbulnya inflasi di setiap negara, tidak terkecuali di Indonesia. Di Indonesia jumlah uang beredar ini lebih banyak diterjemahkan dalam konsep narrow money ( M1 ). Hal ini terjadi karena masih adanya anggapan, bahwa uang kuasi hanya merupakan bagian dari likuiditas perbankan.
Sejak tahun 1976 presentase uang kartal yang beredar (48,7%) lebih kecil dari pada presentase jumlah uang giral yang beredar (51,3%). Sehingga, mengindikasikan bahwa telah terjadi proses modernisasi di sektor moneter Indonesia. Juga, mengindikasikan bahwa semakin sulitnya proses pengendalian jumlah uang beredar di Indonesia, dan semakin meluasnya monetisasi dalam kegiatan perekonomian subsistence, akibatnya memberikan kecenderungan meningkatnya laju inflasi.
Menurut data yang dihimpun dalam Laporan Bank Dunia, menunjukan laju pertumbuhan rata-rata jumlah uang beredar di Indonesia pada periode tahun 1980-1992 relatif tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Dan, tingkat inflasi Indonesia juga relatif tinggi dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya (kecuali Filipina). Kenaikkan jumlah uang beredar di Indonesia pada tahun 1970-an sampai awal tahun 1980-an lebih disebabkan oleh pertumbuhan kredit likuiditas dan defisit anggaran belanja pemerintah. Pertumbuhan ini dapat merupakan efek langsung dari kebijaksanaan Bank Indonesia dalam sektor
keuangan (terutama dalam hal penurunan reserve requirement).


b.      Defisit Anggaran Belanja Pemerintah
Seperti halnya yang umum terjadi pada negara berkembang, anggaran belanja pemerintah Indonesia pun sebenarnya mengalami defisit, meskipun Indonesia menganut prinsip anggaran berimbang. Defisitnya anggaran belanja ini banyak kali disebabkan oleh hal-hal yang menyangkut ketegaran struktural ekonomi Indonesia, yang acapkali menimbulkan kesenjangan antara kemauan dan kemampuan untuk membangun.
Selama pemerintahan Orde Lama defisit anggaran belanja ini acapkali dibiayai dari dalam negeri dengan cara melakukan pencetakan uang baru, mengingat orientasi kebijaksanaan pembangunan ekonomi yang inward looking policy, sehingga menyebabkan tekanan inflasi yang hebat. Tetapi sejak era Orde Baru, deficit anggaran belanja ini ditutup dengan pinjaman luar negeri yang nampaknya relative aman terhadap tekanan inflasi.
Dalam era pemerintahan Orde Baru, kebutuhan terhadap percepatan pertumbuhan ekonomi yang telah dicanangkan sejak Pembangunan Jangka Panjang I, menyebabkan kebutuhan dana untuk melakukan pembangunan sangat besar. Dengan mengingat bahwa potensi memobilisasi dana pembangunan dari masyarakat (baik dari sektor tabungan masyarakat maupun pendapatan pajak) di dalam negeri pada saat itu yang sangat terbatas (belum berkembang), juga kemampuan sector swasta yang terbatas dalam melakukan pembangunan, menyebabkan pemerintah harus berperan sebagai motor pembangunan. Hal ini menyebabkan pos pengeluaran APBN menjadi lebih besar daripada penerimaan rutin. Artinya, peran pengeluaran pemerintah dalam investasi tidak dapat diimbangi dengan penerimaan, sehingga menimbulkan kesenjangan antara pengeluaran dan penerimaan negara, atau dapat dikatakan telah terjadi defisit struktural dalam keuangan negara.
Pada saat terjadinya oil booming, era tahun 1970-an, pendapatan pemerintah di sektor migas meningkat pesat, sehingga jumlah uang primer pun semakin meningkat. Hal ini menyebabkan kemampuan pemerintah untuk berekspansi investasi di dalam negeri semakin meningkat. Dengan kondisi tingkat pertumbuhan produksi domestik yang relatif lebih lambat, akibat kapasitas produksi nasional yang masih berada dalam keadaan under-employment, peningkatan permintaan (investasi) pemerintah menyebabkan terjadi realokasi sumberdaya dari masyarakat ke pemerintah., seperti yang terkonsep dalam analisis Keynes tentang inflasi. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya tekanan inflasi.
Tetapi, sejak berubahnya orientasi ekspor Indonesia ke komoditi non migas, sejalan dengan merosotnya harga minyak bumi di pasar ekspor (sejak tahun 1982), menyebabkan kemampuan pemerintah untuk membiayai pembangunan nasional semakin berkurang pula, sehingga pemerintah tidak dapat lagi mempertahankan posisinya sebagai penggerak (motor) pembangunan. Dengan kondisi seperti ini, menyebabkan secara bertahap peran sebagai penggerak utama pembangunan nasional beralih ke pihak swasta nasional, dengan demikian sumber tekanan inflasi pun beralih dari pemerintah beralih ke non pemerintah (swasta).
Tekanan inflasi pada periode ini lebih disebabkan oleh meningkatnya tingkat agresifitas sektor swasta dalam melakukan ekspansi usaha, yang didukung oleh perkembangan sektor perbankan yang semakin ekspansif pula. Dengan kondisi sumberdaya modal domestik yang masih saja relatif terbatas, maka pinjaman luar negeri yang sifatnya non komersial maupun komersial pun semakin meningkat. Akibatnya, tetap saja terjadi defisit anggaran belanja negara dan neraca pembayaran, salah satu sebabnya karena pemerintah tetap saja harus menyediakan infrastruktur dan suprastruktur pembangunan ekonomi yang kebutuhannya semakin meningkat. Peran pemerintah ini dapat dimaklumi karena kemampuan swasta nasional dalam pembangunan infrastruktur ekonomi masih sangat terbatas.
c.       Faktor – factor dalam penawaran agregat dan luar negeri
Kelambanan penyesuaian dari faktor-faktor penawaran agregat terhadap peningkatan permintaan agregat ini lebih banyak disebabkan oleh adanya hambatan-hambatan struktural (structural bottleneck) yang ada di Indonesia. Harga bahan pangan merupakan salah satu penyumbang terbesar terhadap tingkat inflasi di Indonesia. Hal ini antara lain disebabkan oleh ketegaran structural yang terjadi di sektor pertanian sehingga menyebabkan inelastisnya penawaran bahan pangan. Ketergantungan perekonomian Indonesia yang besar terhadap sector pertanian, yang tercermin oleh peranan nilai tambahnya yang relatif besar dan daya serap tenaga kerjanya yang sedemikian tinggi serta beban penduduk yang cukup tinggi, mengakibatkan harga bahan pangan meningkat pesat. Umumnya, laju penawaran bahan pangan tidak dapat mengimbangi laju permintaannya, sehingga sering terjadi excess demand yang selanjutnya dapat memunculkan inflationary gap. Timbulnya excess demand ini disebabkan oleh percepatan pertambahan penduduk yang membutuhkan bahan pangan tidak dapat diimbangi dengan pertambahan output pertanian, khususnya pangan. Di sisi lain, kelambanan produksi bahan pangan disebabkan oleh berbagai hal, diantaranya adalah tingkat modernisasi teknologi dan metode pertanian yang kurang maksimal; adanya faktor-faktor eksternal dalam pertanian seperti, perubahan iklim dan bencana alam; perpindahan tenaga kerja pertanian ke sektor non pertanian akibat industrialisasi; juga semakin sempitnya luas lahan yang digunakan untuk pertanian, yang disebabkan semakin banyaknya lahan pertanian yang beralih fungsi sebagai lokasi perumahan; industri; dan pengembangan kota.
Lebih lanjut, menurut hasil study empiris yang pernah dilakukan oleh Sri Mulyani Indrawati (1996), selain harga bahan pangan, kontributor inflasi di Indonesia lainnya dari sisi penawaran agregat adalah imported inflation, administrated goods, output gap, dan interest rate.
Pertama, imported inflation ini terjadi akibat tingginya derajat ketergantungan sektor riil di Indonesia terhadap barang-barang impor, baik capital goods; intermediated good; maupun row material. Transmisi imported inflation di Indonesia ini terjadi melalui dua hal, yaitu depresiasi rupiah terhadap mata uang asing dan perubahan harga barang impor di negara asalnya.
Bila suatu ketika terjadi depresiasi rupiah yang cukup tajam terhadap mata uang asing, maka akan menyebabkan bertambah beratnya beban biaya yang harus ditanggung oleh produsen, baik itu untuk pembayaran bahan baku dan barang perantara ataupun beban hutang luar negeri akibat ekspansi usaha yang telah dilakukan. Hal ini menyebabkan harga jual output di dalam negeri (khususnya untuk industri subtitusi impor) akan meningkat tajam, sehingga potensial meningkatkan derajat inflasi di dalam negeri. Tetapi, untuk industri yang bersifat promosi ekspor, depresiasi tersebut tidak akan membawa dampak buruk yang signifikan.
Berkaitan dengan posisi hutang luar negeri Indonesia, pada periode tahun 1990-an, telah membengkak dengan tingkat debt service ratio yang semakin tinggi, yaitu lebih dari 40 %, dan presentase tingkat hutang yang bersifat komersial telah melampaui hutang non komersial. Menyebabkan, timbulnya hal yang sangat membahayakan ketahanan ekonomi nasional, terutama pada sektor finansial, apabila terjadi fluktuasi (memburuknya) nilai tukar (kurs), disamping dapat mengakibatkan tekanan inflasi yang berat, khususnya imported inflation.
Kedua, administrated goods adalah barang-barang yang harganya diatur dan ditetapkan oleh pemerintah. Meskipun pengaruhnya secara langsung sangat kecil dalam mempengaruhi tingkat inflasi, tetapi secara situasional dan tidak langsung pengaruhnya dapat menjadi signifikan. Contoh, apabila terjadi kenaikan BBM, maka bukan saja harga BBM yang naik, harga barang atau tarif jasa yang terkait dengan BBM juga akan ikut dinaikan oleh masyarakat. Akibatnya, dapat memperberat tekanan inflasi.
Ketiga, output gap adalah perbedaan antara actual output (output yang diproduksi) dengan potential output (output yang seharusnya dapat diproduksi dalam keadaan full employment). Adanya kesenjangan (gap) ini terjadi karena faktor-faktor produksi yang dipakai dalam proses produksi belum maksimal dan atau efisien.
Keempat, interest rate juga merupakan faktor penting yang menyumbang angka inflasi di Indonesia. Memang pada awalnya merupakan hal yang cukup membingungkan dalam menentukan manakah yang menjadi independent variable atau dependent, antara inflasi dan suku bunga. Tetapi, bila ditilik dari sisi biaya produksi dan investasi (sisi penawaran), maka jelaslah bahwa suku bunga dapat dikatagorikan dalam komponen biaya-biaya tersebut. Dengan relatif tingginya tingkat suku bunga perbankan di Indonesia, menyebabkan biaya produksi dan investasi di Indonesia, yang dibiayai melalui kredit perbankan, akan tinggi juga. Jadi, apabila tingkat suku bunga meningkat, maka biaya produksi akan meningkat, selanjutnya akan meningkatkan pula harga output di pasar, akibatnya terjadi tekanan inflasi. Akhirnya, relasi antara tingkat suku bunga dan inflasi ini bisa menjadi interest rate-price spiral.
C.      Pengendalian Inflasi di Indonesia
Sebagaimana halnya yang umum terjadi pada negara – negara berkembang, inflasi di Indonesia relatif lebih banyak disebabkan oleh hal-hal yang bersifat struktural ekonomi bila dibandingkan dengan hal-hal yang bersifat monetary policies. Sehingga bisa dikatakan, bahwa pengaruh dari cosh push inflation lebih besar dari pada demand pull inflation.
Memang dalam periode tahun-tahun tertentu, misalnya pada saat terjadinya oil booming, tekanan inflasi di Indonesia disebabkan meningkatnya jumlah uang beredar. Tetapi hal tersebut tidak dapat mengabaikan adanya pengaruh yang bersifat struktural ekonomi, sebab pada periode tersebut, masih terjadi kesenjangan antara penawaran agregat dengan permintaan agregat, contohnya di sub sector pertanian, yang dapat meningkatkan derajat inflasi.
Pada umumnya pemerintah Indonesia lebih banyak menggunakan pendekatan moneter dalam upaya mengendalikan tingkat harga umum. Pemerintah Indonesia lebih senang menggunakan instrumen moneter sebagai alat untuk meredam inflasi, misalnya dengan open market mechanism atau reserve requirement. Tetapi perlu diingat, bahwa pendekatan moneter lebih banyak dipakai untuk mengatasi inflasi dalam jangka pendek, dan sangat baik diterapkan peda negara-negara yang telah maju perekonomiannya, bukan pada negara berkembang yang masih memiliki structural bottleneck. Jadi, apabila pendekatan moneter ini dipakai sebagai alat utama dalam mengendalikan inflasi di negara berkembang, maka tidak akan dapat menyelesaikan problem inflasi di negara berkembang yang umumnya berkarakteristik jangka panjang.
Seperti halnya yang terjadi di Indonesia pada saat krisis moneter yang selanjutnya menjadi krisis ekonomi, inflasi di Indonesia dipicu oleh kenaikan harga komoditi impor (imported inflation) dan membengkaknya hutang luar negeri akibat dari terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika dan mata uang asing lainnya. Akibatnya, untuk mengendalikan tekanan inflasi, maka terlebih dahulu harus dilakukan penstabilan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, khususnya dolar Amerika.
Dalam menstabilkan nilai kurs, pemerintah Indonesia cenderung lebih banyak memainkan instrumen moneter melalui otoritas moneter dengan tight money policy yang diharapkan selain dapat menarik minat para pemegang valuta asing untuk menginvestasikan modalnya ke Indonesia melalui deposito, juga dapat menstabilkan tingkat harga umum.
Tight money policy yang dilakukan dengan cara menaikkan tingkat suku bunga SBI (melalui open market mechanism) sangat tinggi, pada satu sisi akan efektif untuk mengurangi money suplly, tetapi di sisi lain akan meningkatkan suku bunga kredit untuk sektor riil. Akibatnya, akan menyebabkan timbulnya cost push inflation karena adanya interest rate-price spiral. Apabila tingkat suku bunga (deposito) perbankan sudah terlalu tinggi, sehingga dana produktif (dana untuk berproduksi atau berusaha) yang ada di masyarakat ikut terserap ke perbankan, maka akan dapat menyebabkan timbulnya stagnasi atau bahkan penurunan output produksi nasional (disebut dengan Cavallo effect). Lebih lagi bila sampai terjadi negatif spread pada dunia perbankan nasional, maka bukan saja menimbulkan kerusakan pada sektor riil, tetapi juga kerusakan pada industri perbankan nasional (sektor moneter). Jika kebijaksanaan ini terus dilakukan oleh pemerintah dalam jangka waktu menengah atau panjang, maka akan terjadi depresi ekonomi, akibatnya struktur perekonomian nasional akan rusak.
Jika demikian halnya, maka sebaiknya kebijaksanaan pengendalian inflasi bukan hanya dilakukan melalui konsep kaum moneterist saja, tetapi juga dengan memperhatikan cara pandang kaum structuralist, yang lebih memandang perlunya mengatasi hambatan-hambatan struktural yang ada.
Dengan berpedoman pada berbagai hambatan dalam pembangunan perekonomian Indonesia yang telah disebutkan di atas, maka perlu berbagai upaya pembenahan, yaitu :
a.         Meningkatkan Supply Bahan Pangan
Meningkatkan supply bahan pangan dapat dilakukan dengan lebih memberikan perhatian pada pembangunan di sektor pertanian, khususnya sub sektor pertanian pangan. Modernisasi teknologi dan metode pengolahan lahan, serta penambahan luas lahan pertanian perlu dilakukan untuk eningkatkan laju produksi bahan pangan agar tercipta swasembada pangan.
b.        Mengurangi Defisit APBN
Mungkin dalam masa krisis ekonomi mengurangi defisit APBN tidak dapat dilaksanakan, tetapi dalam jangka panjang (setelah krisis berlalu) perlu dilakukan. Untuk mengurangi defisit anggaran belanja, pemerintah harus dapat meningkatkan penerimaan rutinnya, terutama dari sektor pajak dengan benar dan tepat karena hal ini juga dapat menekan excess demand. Dengan semakin naiknya penerimaan dalam negeri, diharapkan pemerintah dapat mengurangi ketergantungannya terhadap pinjaman dana dari luar negeri. Dengan demikian anggaran belanja pemerintah nantinya akan lebih mencerminkan sifat yang relative independent.
c.         Meningkatkan Cadangan Devisa
Pertama, perlu memperbaiki posisi neraca perdagangan luar negeri (current account), terutama pada perdagangan jasa, agar tidak terus menerus defisit. Dengan demikian diharapkan cadangan devisa nasional akan dapat ditingkatkan. Juga, diusahakan untuk meningkatkan kinerja ekspor, sehingga net export harus semakin meningkat.
Kedua, diusahakan agar dapat mengurangi ketergantungan industri domestic terhadap barang-barang luar negeri, misalnya dengan lebih banyak memfokuskan pembangunan pada industri hulu yang mengolah sumberdaya alam yang tersedia di dalam negeri untuk dipakai sebagai bahan baku bagi industri hilir. Selain itu juga perlu dikembangkan industri yang mampu memproduksi barang-barang modal untuk industri di dalam negeri.
Ketiga, mengubah sifat industri dari yang bersifat substitusi impor kepada yang lebih bersifat promosi ekspor, agar terjadi efisiensi di sektor harga dan meningkatkan net export.
Keempat, membangun industri yang mampu menghasilkan nilai tambah yang tinggi dan memiliki kandungan komponen lokal yang relatif tinggi pula.
d.        Memperbaiki dan Meningkatkan Kemampuan Sisi Penawaran Agregat
Pertama, mengurangi kesenjangan output (output gap) dengan cara meningkatkan kualitas sumberdaya pekerja, modernisasi teknologi produksi, serta pembangunan industri manufaktur nasional agar kinerjanya meningkat. Kedua, memperlancar jalur distribusi barang nasional, supaya tidak terjadi kesenjangan penawaran dan permintaan di tingkat regional (daerah). Ketiga, menstabilkan tingkat suku bunga dan menyehatkan perbankan nasional, tujuannya untuk mendukung laju proses industrialisasi nasional. Keempat, menciptakan kondisi yang sehat dalam perekonomian agar market mechanism dapat berjalan dengan benar, dan mengurangi atau bahkan menghilangkan segala bentuk faktor yang dapat menyebabkan distorsi pasar. Kelima, melakukan program deregulasi dan debirokrasi di sektor riil karena acapkali birokrasi yang berbelit dapat menyebabkan high cost economy.
Dengan menggunakan dua pendekatan (moneterist dan strukturalist) pada komposisi yang tepat, maka diharapkan bukan saja dalam jangka pendek inflasi dapat dikendalikan, tetapi juga dalam jangka panjang. Dan, bila ada upaya yang serius untuk memperkecil atau bahkan menghilangkan hambatan-hambatan struktural yang ada, maka akan berakibat pada membaiknya fundamental ekonomi Indonesia.
BAB IV
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Dari analisa pembahasan pada bab sebelumnya penulis menyimpulkan sebagai berikut :
inflasi merupakan suatu proses kenaikan harga secara umum yang terjadi secara terus menerus namun juga mempengaruhi menurunnya nilai mata uang Negara. Misalnya apabila persediaan uang yang semakin sedikit dapat menyebabkan kenaikan harga secara umum. Dan harga yang tinggi namun persediaan uang cukup banyak maka tidak menunjukkan terjadinya Inflasi.
masalah inflasi di Indonesia bukanlah hanya sekedar masalah dalam kurun waktu jangka pendek namun inflasi tersebut bisa menjadi masalah yang berkepanjangan apabila tidak segera di atasi dengan benar. inflasi yang terjadi di Indonesia ini benar – benar membuat Indonesia semakin terpuruk khususnya yang dirasakan oleh masyarakat. namun inflasi yang terjadi di Indonesia bukan lah semata – mata disebabkan oleh gagalnya pelaksanaan kebijakan – kebijakan moneter oleh pemerintah tetapi juga mengindikasikan masih adanya hambatan – hambatan structural dalam perekonomian Indonesia yang belum sepenuhnya dapat diatasi.
Defisit APBN; peningkatan cadangan devisa; pembenahan sektor pertanian khususnya pada sub sektor pangan; pembenahan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi posisi penawaran agregat merupakan hal-hal yang perlu mendapatkan penanganan yang serius untuk dapat menekan inflasi ke tingkat yang serendah mungkin di Indonesia, disamping tentunya pengelolaan tepat dan pembenahan di sektor moneter.
B.       Saran
Setelah menganalisa pembahasan pada bab sebelumnya penulis menyarankan agar pemerintah segera menangani tingkat inflasi yang terjadi di Indonesia, agar masyarakat merasa terlindungi dari inflasi khususnya masyarakat menengah ke bawah. kebijakan – kebijakan yang pemerintah ambil diharapkan tidak hanya berguna untuk negaranya saja namun dengan kebijakan – kebijakan yang ada haruslah juga menguntungkan masyakat. apabila inflasi dibiarkan berkepanjangan maka daya beli masyarakat akan semakin menurun. dan hal ini akan sangat menyengsarakan rakyat.
Dalam mengatasi inflasi sekarang ini, bukan hanya pemerintah yang diharapkan untuk berusaha mengatasi inflasi ini, namun masyarakat juga harus mendukung pemerintah dengan ikut serta dalam penghematan pemakaian BBM dengan melakukan efisiensi energy pada transportasi yang ada. serta tidak ikut – ikutan untuk menaikkan harga barang – barang pokok dengan tingkat harga yang melmabung tinggi.
DAFTAR PUSTAKA

0 komentar:

 

Welcome In My Blog Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review