Makalah Perekonomian Indonesia
Tentang
“Inflasi yang Terjadi di Indonesia”
Disusun oleh:
Riska Yuliatiningsih
2012220020
Akuntansi Sore ( K )
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS MADURA
TAHUN AKADEMIK 2012 – 2013
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT,
karena atas berkat dan limpahan rahmat-Nya-lah maka kami bisa menyelesaikan
makalah ini dengan tepat waktu.
Berikut ini kami mempersembahkan sebuah makalah dengan
judul "Inflasi yang Terjadi di Indonesia ", yang menurut penulis
dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita guna untuk mengetahui perkembangan inflasi yang terjadi
di Indonesia selama beberapa tahun ini.
Melalui
kata pengantar ini penulis terlebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman
bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang kami buat kurang
tepat
Dengan
ini kami mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga
Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.
Pamekasan, 14 Juli 2013
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................... ii
DAFTAR ISI..................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................ 1
A. Latar Belakang............................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................... 1
C. Tujuan............................................................................................................. 1
BAB II LANDASAN TEORI.......................................................................... 3
A.
Pengertian
Inflasi........................................................................................... 3
B.
Penyebab
Inflasi............................................................................................. 3
C. Jenis – jenis Inflasi......................................................................................... 7
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................. 11
A. Inflasi yang terjadi di Indonesia.................................................................... 11
B. Penyebab Timbulnya Inflasi di
Indonesia...................................................... 15
C. Pengendalian Inflasi di Indonesia.................................................................. 20
BAB III PENUTUP.......................................................................................... 25
A. Kesimpulan..................................................................................................... 25
B. Saran............................................................................................................... 25
DAFTAR ISI..................................................................................................... 27
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Inflasi dapat diartikan sebagai
kenaikan harga secara umum dan terus menerus atau penurunan nilai mata uang.
Indonesia merupakan salah satu Negara berkembang yang pernah terkena dampak
Krisis Ekonomi Global. Pada tahun 1998 Indonesia benar – benar merasakan
dahsyatnya goncangan krisis financial yang merembet pada kepercayaan. Setelah
itu Ekonomi Indonesia mulai bergerak dan bangkit kembali, namun pada tahun 2004
perlahan kondisi Ekonomi Indonesia mulai merasakan tekanan kembali yang merupakan imbas dari kenaikan harga
minyak dunia dengan diumumkannya kenaikan harga BBM oleh Menteri Koordinator
Abu Rizal Bakri pada tanggal 1 Maret 2004. Dan baru – baru ini kenaikan BBM
kembali terjadi tepatnya pada tanggal 21 Juni 2013 lalu.
Semenjak
peristiwa kenaikan BBM tersebut, Indonesia benar – benar mengalami inflasi.
bukan hanya harga BBM yang melambung namun harga barang – barang pokok pun ikut
melambung. Hal ini cukup membuat beban masyarakat Indonesia semakin berat.
Walaupun dengan adanya BLSM, Masyarakat tidak dapat sepenuhnya memenuhi
kebutuhan pokoknya. Selain itu turunnya nilai mata uang rupiah juga dirasakan
oleh semua orang, Khususnya masyarakat golongan menengah ke bawah.
Dalam pembahasan kali ini, penulis
akan membahas bahasan pokok masalah “inflasi” utamanya yang terjadi di
Indonesia.
B.
Rumusan Masalah
Berkaitan dengan latar belakang masalah tersebut diatas maka masalah yang
dapat di rumuskan yaitu :
-
Seperti
apa inflasi yang terjadi di Indonesia?
-
Apa
yang menyebabkan inflasi di Indonesia?
-
Bagaimana
pengendalian yang dilakukan oleh Pemerintah menyangkut inflasi yang terjadi di
Indonesia?
C.
Tujuan
Tujuan penyusunan makalah ini yaitu
untuk memaparkan hasil tinjauan penulis tentang terjadinya inflasi di
Indonesia.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian
Inflasi
Menurut ilmu Ekonomi, inflasi merupakan suatu
proses meningkatnya harga barang yang bersifat secara umum dan berlangsung
dalam jangka waktu yang lama atau terus – menerus ( continue ). Inflasi juga
memiliki definisi sebagai suatu proses menurunnya nilai mata uang suatu Negara
secara continue, dalam definisi ini inflasi bukan hanya tinggi - rendahnya
harga, artinya tingkat harga yang tinggi belum tentu menunjukkan inflasi.
Sedangkan menurut salah satu para ahli yaitu Ekonom Parkin dan Bade menyimpulkan
inflasi merupakan pergerakan ke arah atas dari tingkatan harga. Secara mendasar
ini berhubungan dengan harga, hal ini bisa juga disebut dengan berapa banyaknya
uang (rupiah) untuk memperoleh barang tersebut.
B.
Penyebab Inflasi
Inflasi selalu dihubungkan dengan jumlah uang yang beredar. Ada beberapa teori yang menjelaskan tentang penyebab terjadinya inflasi yaitu :
a.
Teori Kuantitas
Teori ini adalah teori
yang tertua yang membahas tentang inflasi, tetapi dalam perkembangannya teori
ini mengalami penyempurnaan oleh para ahli ekonomi Universitas Chicago,
sehingga teori ini juga dikenal sebagai model kaum moneteris (monetarist
models). Teori ini menekankan pada peranan jumlah uang beredar dan harapan
(ekspektasi) masyarakat mengenai kenaikan harga terhadap timbulnya inflasi.
Inti dari teori ini adalah sebagai berikut :
-
Inflasi hanya bisa terjadi kalau ada penambahan volume uang beredar, baik
uang kartal maupun giral.
-
Laju inflasi juga ditentukan oleh laju pertambahan jumlah uang
beredar dan oleh harapan (ekspektasi) masyarakat mengenai kenaikan harga
di masa mendatang.
b.
Keynesian Model
Dasar pemikiran model inflasi dari Keynes ini, bahwa inflasi
terjadi karena masyarakat ingin hidup di luar batas kemampuan ekonomisnya,
sehingga menyebabkan permintaan efektif masyarakat terhadap barang-barang
(permintaan agregat) melebihi jumlah barang-barang yang tersedia (penawaran
agregat), akibatnya akan terjadi inflationary gap. Keterbatasan jumlah
persediaan barang (penawaran agregat) ini terjadi karena dalam jangka pendek
kapasitas produksi tidak dapat dikembangkan untuk mengimbangi kenaikan
permintaan agregat. Oleh karenanya sama seperti pandangan kaum monetarist,
Keynesian models ini lebih banyak dipakai untuk menerangkan fenomena
inflasi dalam jangka pendek. Dengan keadaan daya beli antara golongan yang ada
di masyarakat tidak sama (heretogen), maka selanjutnya akan terjadi realokasi
barang-barang yang tersedia dari golongan masyarakat yang memiliki daya beli
yang relatif rendah kepada golongan masyarakat yang memiliki daya beli yang
lebih besar. Kejadian ini akan terus terjadi di masyarakat. Sehingga, laju
inflasi akan berhenti hanya apabila salah satu golongan masyarakat tidak bisa
lagi memperoleh dana (tidak lagi memiliki daya beli) untuk membiayai pembelian
barang pada tingkat harga yang berlaku, sehingga permintaan efektif masyarakat
secara keseluruhan tidak lagi melebihi supply barang (inflationary
gap menghilang).
c.
Mark-up Model
Pada teori ini dasar pemikiran model inflasi ditentukan oleh dua komponen,
yaitu cost of production dan profit margin. Relasi antara
perubahan kedua komponen ini dengan perubahan harga dapat dirumuskan sebagai
berikut :
Price = Cost + Profit Margin
Karena besarnya profit margin ini
biasanya telah ditentukan sebagai suatu prosentase tertentu dari jumlah cost
of production, maka rumus tersebut dapat dijabarkan menjadi :
Price = Cost + ( a% x Cost )
Dengan demikian, apabila terjadi kenaikan harga pada komponen-komponen yang
menyusun cost of production dan atau penaikan pada profit margin akan
menyebabkan terjadinya kenaikan pada harga jual komoditi di pasar.
d.
Teori
Struktural
Banyak study mengenai inflasi di negara-negara berkembang, menunjukan bahwa
inflasi bukan semata-mata merupakan fenomena moneter, tetapi juga merupakan
fenomena struktural atau cost push inflation. Hal ini disebabkan karena
struktur ekonomi negara-negara berkembang pada umumnya yang masih bercorak
agraris. Sehingga, goncangan ekonomi yang bersumber dari dalam negeri, misalnya
gagal panen (akibat faktor eksternal pergantian musim yang terlalu cepat,
bencana alam, dan sebagainya), atau hal-hal yang memiliki kaitan dengan
hubungan luar negeri, misalnya memburuknya term of trade; utang luar
negeri; dan kurs valuta asing, dapat menimbulkan fluktuasi harga di pasar
domestik.
Fenomena struktural yang disebabkan oleh kesenjangan atau kendala
struktural dalam perekonomian di negara berkembang, sering disebut dengan structural
bottlenecks. Strucktural bottleneck terutama terjadi dalam tiga hal, yaitu
:
-
Supply dari sektor pertanian (pangan) tidak elastis.
Hal ini dikarenakan pengelolaan dan pengerjaan sektor
pertanian yang masih menggunakan metode dan teknologi yang sederhana, sehingga
seringkali terjadi supply dari sector pertanian domestik tidak mampu
mengimbangi pertumbuhan permintaannya.
-
Cadangan valuta asing yang terbatas (kecil)
akibat dari pendapatan ekspor yang lebih kecil daripada pembiayaan impor.
Keterbatasan cadangan valuta asing ini menyebabkan
kemampuan untuk mengimpor barangbarang baik bahan baku; input antara; maupun
barang modal yang sangat dibutuhkan untuk pembangunan sektor industri menjadi
terbatas pula. Belum lagi ditambah dengan adanya demonstration effect yang
dapat menyebabkan perubahan pola konsumsi masyarakat. Akibat dari lambatnya
laju pembangunan sektor industri, seringkali menyebabkan laju pertumbuhan supply
barang tidak dapat mengimbangi laju pertumbuhan permintaan.
-
Pengeluaran pemerintah terbatas.
Hal ini disebabkan oleh sektor penerimaan rutin yang
terbatas, yang tidak cukup untuk membiayai pembangunan, akibatnya timbul
defisit anggaran belanja, sehingga seringkali menyebabkan dibutuhkannya
pinjaman dari luar negeri ataupun mungkin pada umumnya dibiayai dengan
pencetakan uang (printing of money).
Dengan adanya structural bottlenecks ini, dapat memperparah inflasi
di Negara berkembang dalam jangka panjang, oleh karenanya fenomena inflasi di negaranegara
yang sedang berkembang kadangkala menjadi suatu fenomena jangka panjang, yang
tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang pendek.
Berbeda dengan kaum monetaris yang memandang inflasi sebagai fenomena
moneter, yang disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam sektor moneter akibat
dari ekspansi jumlah uang beredar, kaum neo-structuralist menekankan
pada struktur sektor keuangan. Dasar pemikiran kaum neo-structuralist ini
adalah pengaruh uang terhadap perekonomian terutama ditransmisikan dari supply
side atau roduksi. Menurut pemikiran kaum neo-structuralist, uang
merupakan salah satu factor penentu investasi dan produksi. Bila jumlah uang yang
tersedia untuk investasi melimpah, menyebabkan harga uang (suku bunga) akan
murah, maka volume investasi akan meningkat. Dengan meningkatnya volume
investasi, volume produksi juga akan meningkat. Sehingga, penawaran barang
meningkat, yang pada gilirannya akan menekan tingkat inflasi. Dengan dasar
pemikiran yang seperti ini, timbul pendapat bahwa deregulasi di sektor
finansial dan peningkatan jumlah uang beredar akan mendorong laju pertumbuhan
ekonomi seraya menekan inflasi.
Kaum strukturalis berpendapat, bahwa selain harga komoditi pangan, penyebab
utama terjadinya inflasi di negara-negara berkembang adalah akibat inflasi dari
luar negeri (imported inflation). Hal ini disebabkan antara lain oleh
harga barangbarang impor yang meningkat di daerah asalnya, atau terjadinya
devaluasi atau depresiasi mata uang di negara pengimpor. Menurut kesimpulan
dari penelitian M.N. Dalal dan G. Schachter (1988), bila kontribusi impor
terhadap pembentukan output domestik sangat besar, yang artinya sifat barang
impor tersebut sangat penting terhadap price behaviour di negara
importir, maka kenaikan harga barang impor akan menyebabkan tekanan inflasi di
dalam negeri yang cukup besar. Selain itu, semakin rendah derajat kompetisi
yang dimiliki oleh barang impor (price inelastic) terhadap produk dalam
negeri, akan semakin besar pula dampak perubahan harga barang impor tersebut
terhadap inflasi domestik.
C.
Jenis – Jenis
Inflasi
Inflasi dapat dibedakan menjadi beberapa jenis dalam pengelompokan
tertentu, antara lain :
a.
Berdasarkan asalnya
inflasi digolongkan menjadi dua yaitu :
-
Inflasi yang berasal dari dalam Negeri (
Domestic Inflation ). yaitu inflasi yang sepenuhnya disebabkan oleh kesalahan
pengelolaan perekonomian baik di sektor riil ataupun di sektor moneter di dalam
negeri oleh para pelaku ekonomi dan masyarakat.
-
Inflasi yang berasal dari luar negeri (
Imported Inflation ), yaitu inflasi yang disebabkan oleh adanya kenaikan
harga-harga komoditi di luar negeri (di negara asing yang memiliki hubungan
perdagangan dengan negara yang bersangkutan). Inflasi ini hanya dapat terjadi
pada negara yang menganut sistem perekonomian terbuka (open economy system).
Dan, inflasi ini dapat ‘menular’ baik melalui harga barang-barang impor maupun
harga barang-barang ekspor.
Terlepas dari pengelompokan-pengelompokan
tersebut, pada kenyataannya inflasi yang terjadi di suatu negara sangat jarang
(jika tidak boleh dikatakan tidak ada) yang disebabkan oleh satu macam / jenis
inflasi, tetapi acapkali karena kombinasi dari beberapa jenis inflasi. Hal ini
dikarenakan tidak ada faktor-faktor ekonomi maupun pelaku-pelaku ekonomi yang
benar-benar memiliki hubungan yang independen dalam suatu sistem perekonomian
negara. Contoh : imported inflation seringkali diikuti oleh cost push inflation,
domestic inflation diikuti dengan demand pull inflation, dan sebagainya.
b. berdasarkan keparahannya
Inflasi apabila digolongkan berdasarkan
tingkat keparahannya dibedakan menjadi 4, yaitu :
-
Inflasi Ringan atau inflasi merangkak
(creeping inflation), yaitu inflasi yang lajunya kurang dari 10% per tahun,
inflasi seperti ini wajar terjadi pada negara berkembang yang selalu berada
dalam proses pembangunan.
-
Inflasi Sedang, Inflasi ini memiliki ciri
yaitu lajunya berkisar antara 10% sampai 30% per tahun.Tingkat sedang ini sudah
mulai membahayakan kegiatan ekonomi.Perlu diingat laju inflasi ini secara nyata
dapat dilihat garak kenaikan harga.Pendapatan riil masyarakat terutama
masyarakat yang berpenghasilan tetap seperti buruh ,mulai turun dan kenaikan
upah selalu lebih kecil bila dibandingkan dengan kenaikan harga.
-
Inflasi Berat, yaitu inflasi yang lajunya
antara 30% sampai 100%.Kenaikan harga sudah sulit dikendalikan.Hal ini
diperburuk lagi oleh pelaku-palaku ekonomi yang memanfaatkan keadaan untuk
melakukan spekulasi.
-
Inflasi Liar (hyperinflation ), yaitu inflasi
yang lajunya sudah melebihi dari 100% per tahun. Inflasi ini terjadi bila
setiap saat harga-harga terus berubah dan meningkat sehingga orang tidak dapat
menahan uang lebih lama disebabkan nilai uang terus merosot disebut inflasi
yang tidak terkendali (Hyperinflastion).
c.
Berdasarkan Penyebabnya
Penggolongan inflasi selanjutnya dapat
dibedakan menurut penyebabnya yaitu itu tarikan permintaan dan tarikan desakan
( tekanan ) biaya / produksi / distribusi. Secara singkat sebab yang pertama (
tarikan permintaan ) lebih cenderung dipengaruhi dari peran Negara dalam
kebijakan moneter ( Bank Sentral ), sedangkan sebab yang kedua lebih cenderung
dipengaruhi dari peran Negara dalam kebijakan eksekutor yang dalam hal ini
dipegang oleh Pemerintah misalnya Fiskal, kebijakan pembangunan infrastruktur,
regulasi, dan lainnya.
a)
Tarikan permintaan
Hal ini terjadi akibat adanya permintaan total yang berlebihan dimana
biasanya dipicu oleh membanjirnya likuiditas di pasar sehingga terjadi
permintaan yang tinggi dan memicu perubahan pada tingkat harga. Bertambahnya
volume alat tukar atau likuiditas yang terkait dengan permintaan terhadap
barang dan jasa mengakibatkan bertambahnya permintaan terhadap faktor-faktor produksi tersebut. Meningkatnya permintaan terhadap
faktor produksi itu kemudian menyebabkan harga faktor produksi meningkat.
Jadi, inflasi ini terjadi karena suatu kenaikan dalam permintaan total
sewaktu perekonomian yang bersangkutan dalam situasi full employment
dimanana biasanya lebih disebabkan oleh rangsangan volume likuiditas dipasar
yang berlebihan. Membanjirnya likuiditas di pasar juga disebabkan oleh banyak
faktor selain yang utama tentunya kemampuan bank sentral dalam mengatur
peredaran jumlah uang, kebijakan suku bunga bank sentral, sampai dengan aksi
spekulasi yang terjadi di sektor industri keuangan.
secara singkat tarikan permintaan ini terjadi akibat adanya kenaikan
pemintaan Agregat yang terlalu besar atau pesat dibandingkan dengan penawaran
atau produksi Agregat.
b)
desakan biaya
hal terjadi akibat adanya kelangkaan produksi dan/atau juga termasuk adanya
kelangkaan distribusi, meskipun permintaan secara umum tidak ada perubahan yang
meningkat secara signifikan. Adanya ketidak-lancaran aliran distribusi ini atau
berkurangnya produksi yang tersedia dari rata-rata permintaan normal dapat
memicu kenaikan harga sesuai dengan berlakunya hukum permintaan-penawaran, atau
juga karena terbentuknya posisi nilai keekonomian yang baru terhadap produk tersebut
akibat pola atau skala distribusi yang baru. Berkurangnya produksi sendiri bisa
terjadi akibat berbagai hal seperti adanya masalah teknis di sumber produksi
(pabrik, perkebunan, dll), bencana alam, cuaca, atau kelangkaan bahan baku
untuk menghasilkan produksi tsb, aksi spekulasi (penimbunan), dll, sehingga
memicu kelangkaan produksi yang terkait tersebut di pasaran. Begitu juga hal
yang sama dapat terjadi pada distribusi, dimana dalam hal ini faktor
infrastruktur memainkan peranan yang sangat penting.
d.
Berdasarkan cakupan pengaruh terhadap harga
Inflasi juga dapat dibagi berdasarkan besarnya
cakupan pengaruh terhadap harga. Jika kenaikan harga yang terjadi hanya
berkaitan dengan satu atau dua barang tertentu, inflasi itu disebut inflasi
tertutup (Closed Inflation). Namun, apabila kenaikan harga terjadi
pada semua barang secara umum, maka inflasi itu disebut sebagai inflasi
terbuka (Open Inflation). Sedangkan apabila serangan inflasi
demikian hebatnya sehingga setiap saat harga-harga terus berubah dan meningkat
sehingga orang tidak dapat menahan uang lebih lama disebabkan nilai uang terus
merosot disebut inflasi yang tidak terkendali (Hiperinflasi).
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Inflasi yang
Terjadi di Indonesia
Seperti halnya yang terjadi pada negara-negara
berkembang pada umumnya, fenomena inflasi di Indonesia masih menjadi satu dari
berbagai “penyakit” ekonomi makro yang meresahkan pemerintah terlebih bagi
masyarakat. Memang, menjelang akhir pemerintahan
Orde Baru (sebelum krisis moneter) angka inflasi tahunan dapat ditekan sampai
pada single digit, tetapi secara umum masih mengandung kerawanan jika
dilihat dari seberapa besar prosentase kelompok masyarakat golongan miskin yang
menderita akibat inflasi. Lebih-lebih setelah semakin berlanjutnya krisis
moneter yang kemudian diikuti oleh krisis ekonomi, yang menjadi salah satu dari
penyebab jatuhnya pemerintahan Orde Baru, angka inflasi cenderung meningkat
pesat (mencapai lebih dari 75 % pada tahun 1998), dan diperparah dengan semakin
besarnya presentase golongan masyarakat miskin. Sehingga bisa dikatakan, bahwa
meskipun angka inflasi di Indonesia termasuk dalam katagori tinggi, tetapi
dengan meninjau presentase golongan masyarakat ekonomi bawah yang menderita
akibat inflasi cukup besar, maka sebenarnya dapat dikatakan bahwa inflasi di
Indonesia telah masuk dalam stadium awal dari hyperinflation.
contoh peristiwa Inflasi
a.
Pasca
Kenaikan Harga BBM subsidi
Baru – baru ini Pemerintah Indonesia menaikkan
harga BBM pada tanggal 21 Juni lalu. hal ini membuktikan bahwa bangsa kita
benar – benar mengalami masalah naiknya harga BBM. Hal ini terjadi dikarenakan
permintaan masyarakat akan konsumsi BBM melambung tinggi sementara stock atau
persediaan BBM semakin menipis. Berbagai upaya telah pemerintah lakukan untuk
mengatasi krisis BBM ini, awalnya pemerintah melakukan pembatasan pengguna BBM
subsidi. pembatasan ini dilakukan pada BBM premium yang menjadi sasaran utama
oleh Pemerintah kepada kendaraan dinas. namun usaha ini dapat dikategorikan
gagal karena terbukti masih banyak kendaraan dinas yang menikmati BBM subsidi
yaitu dengan cara membeli kepada pedagang eceran sehingga BBM non subsidi
kurang laku di pasaran. menanggapi pemakaian BBM subsidi yang diukur masih
tinggi, Pemerintah menaikkan harga BBM atau mngurangi jatah subsidi yang
diberikan oleh Pemerintah. Kenaikan harga BBM memperberat beban hidup
masyarakat terutama mereka yang berada di kalangan bawah dan juga para
pengusaha, karena kenaikan BBM menyebabkan turunnya daya beli masyarakat dan
itu akan mengakibatkan tidak terserapnya semua hasil produksi banyak perusahaan
sehingga akan menurunkan tingkat penjualan yang pada akhirnya juga akan
menurunkan laba perusahaan.
Naiknya harga BBM di indonesia diawali oleh
naiknya harga minyak dunia. yang membuat pemerintah tidak dapat menjual BBM kepada masyarakat dengan harga yang sama
dengan harga sebelumnya, karena hal itu dapat menyebabkan pengeluaran APBN
untuk subsidi minyak menjadi lebih tinggi. Maka pemerintah mengambil langkah
untuk menaikkan harga BBM.
Dan untuk mengimbangi masalah melonjaknya
harga BBM setiap tahunnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan subsidi BBM. Kebijakan subsidi BBM (Bahan Bakar Minyak)
bertujuan mengatasi kelebihan beban APBN. Sebab jika tidak, APBN dipastikan
akan mengalami penurunan yang berdampak langsung pada mandeknya pembangunan
nasional.
Kenaikan
BBM ini menimbulkan berbagai dampak yaitu meningkatnya harga barang – barang
baik barang pokok maupun jasa. meskipun Pemerintah telah mengadakan program
baru sementara yang berupa BLSM kepada masyarakat miskin namun bantuan tersebut
tidak dapat menutupi keseluruhan kekurangan – kekurangan dana untuk memenuhi
kebutuhan sehari – hari mereka. bahkan terbukti terkadang BLSM tersebut masih
melenceng dari masyarakat miskin. banyak masyarakat miskin yang tidak menerima
bantuan tersebut. selain itu daya beli kebutuhan sehari – hari masyarakat
berkurang karena uang yang biasanya cukup untuk membeli seluruh kebutuhan –
kebutuhan kini tidak cukup lagi untuk membeli semua kebutuhan dikarenakan
harganya terpaut melambung tinggi. apabila kebutuhan – kebutuhan masyarakat
kurang, maka dapat menyebabkan meningkatnya tindakan – tindakan criminal
sehingga keamanan lingkungan pun akan menurun. kebijakan tersebut tidak hanya
berimbas kepada kebutuhan pokok namun berimbas juga kepada laju pertumbuhan
ekonomi. pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan melamban dan daya saing akan
menurun.
Apabila
pemerintah ingin menaikkan harga BBM harusnya tidak langsung melonjak seperti
ini dikarenakan harga – harga barang pun ikut melambung tinggi. seharusnya
Pemerintah menaikkan harga BBM cukup per tahun atau dua tahun sekali dinaikkan
sebesar Rp500,- di tahun – tahun
sebelumnya, sehingga harga – harga barang kebutuhan pokok akan lebih
terkendali.
b.
Krisis
Moneter di Indonesia
Krisis moneter yang melanda negara-negara
ASEAN, termasuk Indonesia, telah menyebabkan rusaknya sendi-sendi perekonomian
nasional. Krisis moneter menyebabkan terjadinya imported inflation sebagai
akibat dari terdepresiasinya secara tajam nilai tukar rupiah terhadap mata uang
asing, yang selanjutnya mengakibatkan tekanan inflasi yang berat bagi
Indonesia. Fenomena inflasi di Indonesia sebenarnya semata-mata bukan merupakan
suatu fenomena jangka pendek saja dan yang terjadi secara situasional, tetapi
seperti halnya yang umum terjadi pada negara-negara yang sedang berkembang
lainnya, masalah inflasi di Indonesia lebih pada masalah inflasi jangka panjang
karena masih terdapatnyahambatan- hambatan struktural dalam perekonomian
negara. Dengan demikian, maka pembenahan masalah inflasi di Indonesia tidak
cukup dilakukan dengan menggunakan instrumen-instrumen moneter saja. Devaluasi
menjadi penyebab utama terjadinya krisis ekonomi di Asia dan akhirnya
menimbulkan masalah inflasi di dalam negeri. Inflasi merupakan masalah ekonomi
makro yang mempengaruhi perekonomiaan secara riil karena memberikan tekanan
bagi investasi dan menghalangi pertumbuhan ekonomi. Penelitian World Bank (World
Bank Institute Home Page, retrieve Februari 2000) mengenai inflasi dan
pertumbuhan di 127 negara antara tahun 1960-1992 menunjukkan adanya hubungan
yang erat antara tingkat inflasi dan penurunan pertumbuhan ekonomi. Pada
penelitian tersebut ditemukan bahwa pada tingkat inflasi yang rendah-menengah
(20-40%) tidak secara langsung menyebabkan penurunan pertumbuhan sedangkan
tingkat inflasi diatas 40% merupakan inflasi yang sangat membahayakan.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut diatas inflasi merupakan masalah ekonomi makro
yang perlu mendapat perhatian baik untuk mencari penyebab maupun solusi untuk
mengatasinya. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa inflasi di Indonesia lebih
didominasi oleh penyebab non ekonomis. Permasalahan penyebab ekonomis dan non ekonomis
di Indonesia memang menimbulkan kontroversi yang cukup tinggi. Aspek-aspek non
ekonomis terkadang memberikan pengaruh yang signifikan bagi perubahan-perubahan
indikator ekonomi.
Dalam tulisan
ini, faktor-faktor non ekonomis dieliminir dan diasumsikan tidak memberikan
pengaruh yang signifikan pada tingkat inflasi. Fenomena inflasi di Indonesia
sendiri memunculkan banyak pendapat mengenai sumber inflasi dan aspek
kausalitas. inflasi di Indonesia dipicu oleh Jumlah uang beredar yang terlampau
besar dan di sisi lain terdapat kelompok yang mengatakan bahwa inflasi di
Indonesia disebabkan karena ketergantungan Indonesia bagi barang impor.
Sisi kausalitas inflasi muncul karena
inflasi itu tidak hanya merupakan akibat dari faktor ekonomi namun juga dapat
menyebabkan perubahan faktor ekonomi yang lain.
c.
Turunnya
Nilai Riil Kekayaan Masyarakat
Inflasi menyebabkan
turunnya nilai riil kekayaan masyarakat yang berbentuk kas, karena nilai tukar
kas tersebut akan menadi lebih kecil, karena secara nominal harus menghadapi
harga komoditi per satuan yang lebih besar. Sebagai misal, jika uang Rp.
10.000,- tadinya bisa dibelikan 10kg beras yang berharga Rp.1000,-/kg, maka
setelah adanya inflasi uang Rp.10.000,- tersebut hanya dapat ditukarkan dengan
5kg beras saja, karena sekarang harga beras menjadi lebih mahal (Rp.2000,-/kg).
Sebaliknya mereka yang memiliki kekayaan dalam bentuk aktiva tetap (umumnya
golongan ekonomi menengah ke atas) justru diuntungkan dengan kenaikan harga
akibat inflasi tersebut. Dengan demikian inflasi akan membuat jurang kesenjang
akan semakin lebar.
B.
Penyebab Timbulnya
Inflasi di Indonesia
Apabila ditelaah lebih lanjut, terdapat beberapa faktor utama yang
menjadi penyebab timbulnya inflasi di Indonesia, yaitu :
a.
Jumlah
uang beredar
Menurut sudut pandang kaum moneteris jumlah uang beredar adalah
factor utama yang dituding sebagai penyebab timbulnya inflasi di setiap negara,
tidak terkecuali di Indonesia. Di Indonesia jumlah uang beredar ini lebih
banyak diterjemahkan dalam konsep narrow money ( M1 ). Hal ini terjadi
karena masih adanya anggapan, bahwa uang kuasi hanya merupakan bagian dari
likuiditas perbankan.
Sejak tahun 1976 presentase uang kartal yang beredar (48,7%) lebih
kecil dari pada presentase jumlah uang giral yang beredar (51,3%). Sehingga,
mengindikasikan bahwa telah terjadi proses modernisasi di sektor moneter
Indonesia. Juga, mengindikasikan bahwa semakin sulitnya proses pengendalian
jumlah uang beredar di Indonesia, dan semakin meluasnya monetisasi dalam
kegiatan perekonomian subsistence, akibatnya memberikan kecenderungan
meningkatnya laju inflasi.
Menurut data yang dihimpun dalam Laporan Bank Dunia, menunjukan
laju pertumbuhan rata-rata jumlah uang beredar di Indonesia pada periode tahun
1980-1992 relatif tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya.
Dan, tingkat inflasi Indonesia juga relatif tinggi dibandingkan dengan
negara-negara ASEAN lainnya (kecuali Filipina). Kenaikkan jumlah uang beredar
di Indonesia pada tahun 1970-an sampai awal tahun 1980-an lebih disebabkan oleh
pertumbuhan kredit likuiditas dan defisit anggaran belanja pemerintah.
Pertumbuhan ini dapat merupakan efek langsung dari kebijaksanaan Bank Indonesia
dalam sektor
keuangan (terutama dalam hal penurunan reserve requirement).
b.
Defisit
Anggaran Belanja Pemerintah
Seperti halnya yang umum terjadi pada negara berkembang, anggaran
belanja pemerintah Indonesia pun sebenarnya mengalami defisit, meskipun
Indonesia menganut prinsip anggaran berimbang. Defisitnya anggaran belanja ini
banyak kali disebabkan oleh hal-hal yang menyangkut ketegaran struktural
ekonomi Indonesia, yang acapkali menimbulkan kesenjangan antara kemauan dan
kemampuan untuk membangun.
Selama pemerintahan Orde Lama defisit anggaran belanja ini acapkali
dibiayai dari dalam negeri dengan cara melakukan pencetakan uang baru,
mengingat orientasi kebijaksanaan pembangunan ekonomi yang inward looking
policy, sehingga menyebabkan tekanan inflasi yang hebat. Tetapi sejak era
Orde Baru, deficit anggaran belanja ini ditutup dengan pinjaman luar negeri
yang nampaknya relative aman terhadap tekanan inflasi.
Dalam era pemerintahan Orde Baru, kebutuhan terhadap percepatan
pertumbuhan ekonomi yang telah dicanangkan sejak Pembangunan Jangka Panjang I,
menyebabkan kebutuhan dana untuk melakukan pembangunan sangat besar. Dengan
mengingat bahwa potensi memobilisasi dana pembangunan dari masyarakat (baik
dari sektor tabungan masyarakat maupun pendapatan pajak) di dalam negeri pada
saat itu yang sangat terbatas (belum berkembang), juga kemampuan sector swasta
yang terbatas dalam melakukan pembangunan, menyebabkan pemerintah harus
berperan sebagai motor pembangunan. Hal ini menyebabkan pos pengeluaran APBN
menjadi lebih besar daripada penerimaan rutin. Artinya, peran pengeluaran
pemerintah dalam investasi tidak dapat diimbangi dengan penerimaan, sehingga
menimbulkan kesenjangan antara pengeluaran dan penerimaan negara, atau dapat
dikatakan telah terjadi defisit struktural dalam keuangan negara.
Pada saat terjadinya oil booming, era tahun 1970-an, pendapatan
pemerintah di sektor migas meningkat pesat, sehingga jumlah uang primer pun
semakin meningkat. Hal ini menyebabkan kemampuan pemerintah untuk berekspansi
investasi di dalam negeri semakin meningkat. Dengan kondisi tingkat pertumbuhan
produksi domestik yang relatif lebih lambat, akibat kapasitas produksi nasional
yang masih berada dalam keadaan under-employment, peningkatan permintaan
(investasi) pemerintah menyebabkan terjadi realokasi sumberdaya dari masyarakat
ke pemerintah., seperti yang terkonsep dalam analisis Keynes tentang inflasi.
Hal inilah yang menyebabkan timbulnya tekanan inflasi.
Tetapi, sejak berubahnya orientasi ekspor Indonesia ke komoditi non
migas, sejalan dengan merosotnya harga minyak bumi di pasar ekspor (sejak tahun
1982), menyebabkan kemampuan pemerintah untuk membiayai pembangunan nasional
semakin berkurang pula, sehingga pemerintah tidak dapat lagi mempertahankan
posisinya sebagai penggerak (motor) pembangunan. Dengan kondisi seperti ini,
menyebabkan secara bertahap peran sebagai penggerak utama pembangunan nasional
beralih ke pihak swasta nasional, dengan demikian sumber tekanan inflasi pun
beralih dari pemerintah beralih ke non pemerintah (swasta).
Tekanan inflasi pada periode ini lebih disebabkan oleh meningkatnya
tingkat agresifitas sektor swasta dalam melakukan ekspansi usaha, yang didukung
oleh perkembangan sektor perbankan yang semakin ekspansif pula. Dengan kondisi
sumberdaya modal domestik yang masih saja relatif terbatas, maka pinjaman luar
negeri yang sifatnya non komersial maupun komersial pun semakin meningkat.
Akibatnya, tetap saja terjadi defisit anggaran belanja negara dan neraca
pembayaran, salah satu sebabnya karena pemerintah tetap saja harus menyediakan
infrastruktur dan suprastruktur pembangunan ekonomi yang kebutuhannya semakin
meningkat. Peran pemerintah ini dapat dimaklumi karena kemampuan swasta
nasional dalam pembangunan infrastruktur ekonomi masih sangat terbatas.
c. Faktor – factor dalam penawaran agregat dan luar negeri
Kelambanan penyesuaian dari faktor-faktor penawaran agregat
terhadap peningkatan permintaan agregat ini lebih banyak disebabkan oleh adanya
hambatan-hambatan struktural (structural bottleneck) yang ada di
Indonesia. Harga bahan pangan merupakan salah satu penyumbang terbesar terhadap
tingkat inflasi di Indonesia. Hal ini antara lain disebabkan oleh ketegaran
structural yang terjadi di sektor pertanian sehingga menyebabkan inelastisnya
penawaran bahan pangan. Ketergantungan perekonomian Indonesia yang besar
terhadap sector pertanian, yang tercermin oleh peranan nilai tambahnya yang
relatif besar dan daya serap tenaga kerjanya yang sedemikian tinggi serta beban
penduduk yang cukup tinggi, mengakibatkan harga bahan pangan meningkat pesat.
Umumnya, laju penawaran bahan pangan tidak dapat mengimbangi laju
permintaannya, sehingga sering terjadi excess demand yang selanjutnya
dapat memunculkan inflationary gap. Timbulnya excess demand ini
disebabkan oleh percepatan pertambahan penduduk yang membutuhkan bahan pangan
tidak dapat diimbangi dengan pertambahan output pertanian, khususnya pangan. Di
sisi lain, kelambanan produksi bahan pangan disebabkan oleh berbagai hal,
diantaranya adalah tingkat modernisasi teknologi dan metode pertanian yang
kurang maksimal; adanya faktor-faktor eksternal dalam pertanian seperti,
perubahan iklim dan bencana alam; perpindahan tenaga kerja pertanian ke sektor
non pertanian akibat industrialisasi; juga semakin sempitnya luas lahan yang
digunakan untuk pertanian, yang disebabkan semakin banyaknya lahan pertanian
yang beralih fungsi sebagai lokasi perumahan; industri; dan pengembangan kota.
Lebih lanjut, menurut hasil study empiris yang pernah dilakukan
oleh Sri Mulyani Indrawati (1996), selain harga bahan pangan, kontributor
inflasi di Indonesia lainnya dari sisi penawaran agregat adalah imported
inflation, administrated goods, output gap, dan interest
rate.
Pertama, imported inflation ini terjadi akibat tingginya
derajat ketergantungan sektor riil di Indonesia terhadap barang-barang impor,
baik capital goods; intermediated good; maupun row material.
Transmisi imported inflation di Indonesia ini terjadi melalui dua hal,
yaitu depresiasi rupiah terhadap mata uang asing dan perubahan harga barang
impor di negara asalnya.
Bila suatu ketika terjadi depresiasi rupiah yang cukup tajam
terhadap mata uang asing, maka akan menyebabkan bertambah beratnya beban biaya
yang harus ditanggung oleh produsen, baik itu untuk pembayaran bahan baku dan
barang perantara ataupun beban hutang luar negeri akibat ekspansi usaha yang
telah dilakukan. Hal ini menyebabkan harga jual output di dalam negeri
(khususnya untuk industri subtitusi impor) akan meningkat tajam, sehingga
potensial meningkatkan derajat inflasi di dalam negeri. Tetapi, untuk industri
yang bersifat promosi ekspor, depresiasi tersebut tidak akan membawa dampak
buruk yang signifikan.
Berkaitan dengan posisi hutang luar negeri Indonesia, pada periode
tahun 1990-an, telah membengkak dengan tingkat debt service ratio yang
semakin tinggi, yaitu lebih dari 40 %, dan presentase tingkat hutang yang
bersifat komersial telah melampaui hutang non komersial. Menyebabkan, timbulnya
hal yang sangat membahayakan ketahanan ekonomi nasional, terutama pada sektor
finansial, apabila terjadi fluktuasi (memburuknya) nilai tukar (kurs),
disamping dapat mengakibatkan tekanan inflasi yang berat, khususnya imported
inflation.
Kedua, administrated goods adalah barang-barang yang
harganya diatur dan ditetapkan oleh pemerintah. Meskipun pengaruhnya secara
langsung sangat kecil dalam mempengaruhi tingkat inflasi, tetapi secara
situasional dan tidak langsung pengaruhnya dapat menjadi signifikan. Contoh,
apabila terjadi kenaikan BBM, maka bukan saja harga BBM yang naik, harga barang
atau tarif jasa yang terkait dengan BBM juga akan ikut dinaikan oleh
masyarakat. Akibatnya, dapat memperberat tekanan inflasi.
Ketiga, output gap adalah perbedaan antara actual output (output
yang diproduksi) dengan potential output (output yang seharusnya dapat
diproduksi dalam keadaan full employment). Adanya kesenjangan (gap)
ini terjadi karena faktor-faktor produksi yang dipakai dalam proses produksi
belum maksimal dan atau efisien.
Keempat, interest rate juga merupakan faktor penting yang
menyumbang angka inflasi di Indonesia. Memang pada awalnya merupakan hal yang
cukup membingungkan dalam menentukan manakah yang menjadi independent
variable atau dependent, antara inflasi dan suku bunga. Tetapi, bila
ditilik dari sisi biaya produksi dan investasi (sisi penawaran), maka jelaslah
bahwa suku bunga dapat dikatagorikan dalam komponen biaya-biaya tersebut.
Dengan relatif tingginya tingkat suku bunga perbankan di Indonesia, menyebabkan
biaya produksi dan investasi di Indonesia, yang dibiayai melalui kredit
perbankan, akan tinggi juga. Jadi, apabila tingkat suku bunga meningkat, maka
biaya produksi akan meningkat, selanjutnya akan meningkatkan pula harga output
di pasar, akibatnya terjadi tekanan inflasi. Akhirnya, relasi antara tingkat
suku bunga dan inflasi ini bisa menjadi interest rate-price spiral.
C. Pengendalian Inflasi di Indonesia
Sebagaimana halnya yang umum terjadi pada negara – negara
berkembang, inflasi di Indonesia relatif lebih banyak disebabkan oleh hal-hal
yang bersifat struktural ekonomi bila dibandingkan dengan hal-hal yang bersifat
monetary policies. Sehingga bisa dikatakan, bahwa pengaruh dari cosh
push inflation lebih besar dari pada demand pull inflation.
Memang dalam periode tahun-tahun tertentu, misalnya pada saat
terjadinya oil booming, tekanan inflasi di Indonesia disebabkan
meningkatnya jumlah uang beredar. Tetapi hal tersebut tidak dapat mengabaikan
adanya pengaruh yang bersifat struktural ekonomi, sebab pada periode tersebut,
masih terjadi kesenjangan antara penawaran agregat dengan permintaan agregat,
contohnya di sub sector pertanian, yang dapat meningkatkan derajat inflasi.
Pada umumnya pemerintah Indonesia lebih banyak menggunakan
pendekatan moneter dalam upaya mengendalikan tingkat harga umum. Pemerintah
Indonesia lebih senang menggunakan instrumen moneter sebagai alat untuk meredam
inflasi, misalnya dengan open market mechanism atau reserve
requirement. Tetapi perlu diingat, bahwa pendekatan moneter lebih banyak
dipakai untuk mengatasi inflasi dalam jangka pendek, dan sangat baik diterapkan
peda negara-negara yang telah maju perekonomiannya, bukan pada negara berkembang
yang masih memiliki structural bottleneck. Jadi, apabila pendekatan
moneter ini dipakai sebagai alat utama dalam mengendalikan inflasi di negara
berkembang, maka tidak akan dapat menyelesaikan problem inflasi di negara
berkembang yang umumnya berkarakteristik jangka panjang.
Seperti halnya yang terjadi di Indonesia pada saat krisis moneter
yang selanjutnya menjadi krisis ekonomi, inflasi di Indonesia dipicu oleh
kenaikan harga komoditi impor (imported inflation) dan membengkaknya
hutang luar negeri akibat dari terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap
dolar Amerika dan mata uang asing lainnya. Akibatnya, untuk mengendalikan
tekanan inflasi, maka terlebih dahulu harus dilakukan penstabilan nilai tukar
rupiah terhadap valuta asing, khususnya dolar Amerika.
Dalam menstabilkan nilai kurs, pemerintah Indonesia cenderung lebih
banyak memainkan instrumen moneter melalui otoritas moneter dengan tight
money policy yang diharapkan selain dapat menarik minat para pemegang
valuta asing untuk menginvestasikan modalnya ke Indonesia melalui deposito,
juga dapat menstabilkan tingkat harga umum.
Tight money policy yang
dilakukan dengan cara menaikkan tingkat suku bunga SBI (melalui open market
mechanism) sangat tinggi, pada satu sisi akan efektif untuk mengurangi money
suplly, tetapi di sisi lain akan meningkatkan suku bunga kredit untuk
sektor riil. Akibatnya, akan menyebabkan timbulnya cost push inflation karena
adanya interest rate-price spiral. Apabila tingkat suku bunga (deposito)
perbankan sudah terlalu tinggi, sehingga dana produktif (dana untuk berproduksi
atau berusaha) yang ada di masyarakat ikut terserap ke perbankan, maka akan
dapat menyebabkan timbulnya stagnasi atau bahkan penurunan output produksi
nasional (disebut dengan Cavallo effect). Lebih lagi bila sampai terjadi
negatif spread pada dunia perbankan nasional, maka bukan saja
menimbulkan kerusakan pada sektor riil, tetapi juga kerusakan pada industri
perbankan nasional (sektor moneter). Jika kebijaksanaan ini terus dilakukan
oleh pemerintah dalam jangka waktu menengah atau panjang, maka akan terjadi
depresi ekonomi, akibatnya struktur perekonomian nasional akan rusak.
Jika demikian halnya, maka sebaiknya kebijaksanaan pengendalian
inflasi bukan hanya dilakukan melalui konsep kaum moneterist saja, tetapi
juga dengan memperhatikan cara pandang kaum structuralist, yang lebih
memandang perlunya mengatasi hambatan-hambatan struktural yang ada.
Dengan berpedoman pada berbagai hambatan dalam pembangunan
perekonomian Indonesia yang telah disebutkan di atas, maka perlu berbagai upaya
pembenahan, yaitu :
a.
Meningkatkan Supply Bahan Pangan
Meningkatkan supply bahan pangan dapat dilakukan dengan
lebih memberikan perhatian pada pembangunan di sektor pertanian, khususnya sub
sektor pertanian pangan. Modernisasi teknologi dan metode pengolahan lahan,
serta penambahan luas lahan pertanian perlu dilakukan untuk eningkatkan laju
produksi bahan pangan agar tercipta swasembada pangan.
b.
Mengurangi Defisit APBN
Mungkin dalam masa krisis ekonomi mengurangi defisit APBN tidak dapat
dilaksanakan, tetapi dalam jangka panjang (setelah krisis berlalu) perlu
dilakukan. Untuk mengurangi defisit anggaran belanja, pemerintah harus dapat
meningkatkan penerimaan rutinnya, terutama dari sektor pajak dengan benar dan
tepat karena hal ini juga dapat menekan excess demand. Dengan semakin
naiknya penerimaan dalam negeri, diharapkan pemerintah dapat mengurangi
ketergantungannya terhadap pinjaman dana dari luar negeri. Dengan demikian
anggaran belanja pemerintah nantinya akan lebih mencerminkan sifat yang relative
independent.
c.
Meningkatkan Cadangan Devisa
Pertama, perlu memperbaiki posisi neraca perdagangan luar negeri (current
account), terutama pada perdagangan jasa, agar tidak terus menerus defisit.
Dengan demikian diharapkan cadangan devisa nasional akan dapat ditingkatkan.
Juga, diusahakan untuk meningkatkan kinerja ekspor, sehingga net export harus
semakin meningkat.
Kedua, diusahakan agar dapat mengurangi ketergantungan industri
domestic terhadap barang-barang luar negeri, misalnya dengan lebih banyak
memfokuskan pembangunan pada industri hulu yang mengolah sumberdaya alam yang
tersedia di dalam negeri untuk dipakai sebagai bahan baku bagi industri hilir.
Selain itu juga perlu dikembangkan industri yang mampu memproduksi
barang-barang modal untuk industri di dalam negeri.
Ketiga, mengubah sifat industri dari yang bersifat substitusi impor
kepada yang lebih bersifat promosi ekspor, agar terjadi efisiensi di sektor
harga dan meningkatkan net export.
Keempat, membangun industri yang mampu menghasilkan nilai tambah
yang tinggi dan memiliki kandungan komponen lokal yang relatif tinggi pula.
d.
Memperbaiki dan Meningkatkan Kemampuan Sisi Penawaran Agregat
Pertama, mengurangi kesenjangan output (output gap) dengan
cara meningkatkan kualitas sumberdaya pekerja, modernisasi teknologi produksi,
serta pembangunan industri manufaktur nasional agar kinerjanya meningkat.
Kedua, memperlancar jalur distribusi barang nasional, supaya tidak terjadi
kesenjangan penawaran dan permintaan di tingkat regional (daerah). Ketiga,
menstabilkan tingkat suku bunga dan menyehatkan perbankan nasional, tujuannya
untuk mendukung laju proses industrialisasi nasional. Keempat, menciptakan
kondisi yang sehat dalam perekonomian agar market mechanism dapat
berjalan dengan benar, dan mengurangi atau bahkan menghilangkan segala bentuk
faktor yang dapat menyebabkan distorsi pasar. Kelima, melakukan program
deregulasi dan debirokrasi di sektor riil karena acapkali birokrasi yang
berbelit dapat menyebabkan high cost economy.
Dengan menggunakan dua pendekatan (moneterist dan strukturalist)
pada komposisi yang tepat, maka diharapkan bukan saja dalam jangka pendek
inflasi dapat dikendalikan, tetapi juga dalam jangka panjang. Dan, bila ada
upaya yang serius untuk memperkecil atau bahkan menghilangkan hambatan-hambatan
struktural yang ada, maka akan berakibat pada membaiknya fundamental ekonomi
Indonesia.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
analisa pembahasan pada bab sebelumnya penulis menyimpulkan sebagai berikut :
inflasi
merupakan suatu proses kenaikan harga secara umum yang terjadi secara terus menerus
namun juga mempengaruhi menurunnya nilai mata uang Negara. Misalnya apabila
persediaan uang yang semakin sedikit dapat menyebabkan kenaikan harga secara
umum. Dan harga yang tinggi namun persediaan uang cukup banyak maka tidak
menunjukkan terjadinya Inflasi.
masalah
inflasi di Indonesia bukanlah hanya sekedar masalah dalam kurun waktu jangka
pendek namun inflasi tersebut bisa menjadi masalah yang berkepanjangan apabila
tidak segera di atasi dengan benar. inflasi yang terjadi di Indonesia ini benar
– benar membuat Indonesia semakin terpuruk khususnya yang dirasakan oleh
masyarakat. namun inflasi yang terjadi di Indonesia bukan lah semata – mata
disebabkan oleh gagalnya pelaksanaan kebijakan – kebijakan moneter oleh
pemerintah tetapi juga mengindikasikan masih adanya hambatan – hambatan
structural dalam perekonomian Indonesia yang belum sepenuhnya dapat diatasi.
Defisit
APBN; peningkatan cadangan devisa; pembenahan sektor pertanian khususnya pada
sub sektor pangan; pembenahan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi posisi
penawaran agregat merupakan hal-hal yang perlu mendapatkan penanganan yang
serius untuk dapat menekan inflasi ke tingkat yang serendah mungkin di
Indonesia, disamping tentunya pengelolaan tepat dan pembenahan di sektor
moneter.
B.
Saran
Setelah menganalisa pembahasan pada bab
sebelumnya penulis menyarankan agar pemerintah segera menangani tingkat inflasi
yang terjadi di Indonesia, agar masyarakat merasa terlindungi dari inflasi
khususnya masyarakat menengah ke bawah. kebijakan – kebijakan yang pemerintah
ambil diharapkan tidak hanya berguna untuk negaranya saja namun dengan
kebijakan – kebijakan yang ada haruslah juga menguntungkan masyakat. apabila
inflasi dibiarkan berkepanjangan maka daya beli masyarakat akan semakin
menurun. dan hal ini akan sangat menyengsarakan rakyat.
Dalam mengatasi inflasi sekarang ini, bukan
hanya pemerintah yang diharapkan untuk berusaha mengatasi inflasi ini, namun
masyarakat juga harus mendukung pemerintah dengan ikut serta dalam penghematan
pemakaian BBM dengan melakukan efisiensi energy pada transportasi yang ada.
serta tidak ikut – ikutan untuk menaikkan harga barang – barang pokok dengan
tingkat harga yang melmabung tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
0 komentar:
Posting Komentar